RESUME DAN REVIEW MATAKULIAH SOSIOLOGI AGAMA FULL
RESUME
SOSIOLOGI AGAMA
Di susun guna
untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Agama
Dosen :
Muhammad Fahmi, M.SI
Baca Juga
Disusun oleh :
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN
ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
SURAKARTA
2015
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya. Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, agama yang berarti "tradisi". Kata lain untuk
menyatakan konsep ini adalah religi yang
berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat
kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan
Menurut Nurcholish Madjit agama
adalah sikap pasrah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, pencipta seluruh langit
dan bumi. Menurut Emile Durkheim definisi Agama adalah suatu sistem yang
terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal
yang suci dan menyatukan semua penganutnya dalam suatu komunitas moral yang di
namakan umat.
ANIMISME
Menurut Taylor dan
Comte, animisme adalah tahap pertama pembentukan agama. Dalam istilah mereka,
peradaban itu dimulai dengan adanya pemikiran animisme, kemudian berkembang
menjadi agama. Anima yang berasal
dari bahasa latin yaitu anima yang berarti roh.
Kepercayaan Animisme merupakan kepercayaan kepada makhluk halus dan roh.
Pengertian roh dalam
masyarakat primitif tidak sama dengan pengertian roh dalam paham modern. Mereka
belum dapat membayangkan roh yang bersifat immateri. Oleh karena itu, menurut
mereka roh terdiri atas materi yang sangat halus. Sifat dari roh ini mempunyai
bentuk, umur, dan mampu makan. Bagi orang-orang Bantu di Afrika, roh mesti diberi
makan, sama halnya manusia. Bagi penduduk Pulau Andaman, roh mempunyai kaki dan
tangan yang panjang, tetapi badannya kecil, pergi berburu makan babi, menari
dan bernyanyi. Bagi orang-orang Indian Amerika, roh naik ke langit membentuk
awan ketika seseorang wafat.
Di Indonesia terutama di bagian
timur Indonesia, masih banyak yang menganut animism. Seperti ketika mereka
mengadakan upacara-upacara adat, mereka sering mengundang roh-roh nenek moyang
dengan melakukan berbagai ritual dan beberapa sesaji agar roh-roh nenek moyang
mereka hadir dan ikut serta dalam upacara adat tersebut.
Mereka kadang menaruh sesaji dibawah
pohon dan meminta sesuatu dari pohon tersebut karena, mereka percaya pohon
tersebut memiliki kekuatan. Animisme dan dinamisme bukanlah agama, animism
adalah suatu sistem kepercayaan selain kepada Tuhan, dimana orang yang menganut
kepercayan tersebut percaya bahwa yang di anutnya tersebut memiliki kekuatan
tersendiri. Di Indonesia sendiri memiliki 6 agama, dan terkadang animism dapat
masuk kedalam agama tersebut. Sebagai contoh, orang memeluk agama islam,.
Animisme tidak dapat dijadikan agama karena tidak memiliki syarat dan ketentuan
tertentu dan tidak tersistem dengan baik, penganutnya pun juga sedikit hanya
beberapa orang. Tidak memiliki sistem yang terstruktur, seperti kitab, nabi
(dalam islam), dll, sehingga animisme tidak dapat
dijadikan sebagai agama yang dapat dianut oleh sebagian besar masyarakat.
Beberapa macam kepercayaan animisme di Indonesia.
1. Kepercayaan dan penyembahan pada alam (Natureworship)..
Menurut mereka, setiap materi memiliki kesamaan sifat dengan manusia.
Sebagai contoh, api memiliki sifat yang sama dengan manusia. Api memiliki
kekuatan untuk membunuh atau melenyapkan apapun dengan panasnya, sebagaimana
manusia mampu membunuh binatang dengan kekuatan tangannya. Oleh karena itu, api
mempunyai roh. Bagi manusia primitif, menyembah api adalah proses menghormati
keberadaan api. Penyembahan tersebut dilakukan agar tidak terjadi kebakaran
hutan, sedangkan kebakaran diyakini sebagai bentuk kemurkaan api.[1]
2.
Kepercayaan dan penyembahan pada benda keramat
Kepercayaan bahwa benda tertentu memiliki suatu kekuatan ghaib. Mereka
percaya, barang siapa memakai benda itu maka akan memiliki suatu kekuatan
supranatural dan akan terhindar dari segala malapetaka. Sehingga benda – benda
tersebut akan dimuliakan layaknya tuhan. Mereka juga percaya, jika benda itu
tidak diberi sesajen, maka akan terjadi suatu malapetaka.
3.
Kepercayaan dan penyembahan pada binatang
Binatang disembah karena adanya suatu kepercayaan bahwa binatang tertentu
memiliki suatu kekuatan ghaib. Binatang itu juga dipercaya akan memberi suatu
manfaat atau keselamatan bagi manusia itu. Contoh : penyembahan terhadap sapi,
ular, dan sebagainya.
4.
Kepercayaan dan penyembahan terhadap roh nenek
moyang
Kepercayaan bahwa nenek moyang yang telah mati itu rohnya masih berkeliaran
dan ada disekitar kehidupan manusia. Mereka menganggap bahwa roh nenek moyang
itu memiliki kekuatan tersendiri. Sehingga saat mereka menggantungkan segala
kesusahannya pada roh nenek moyang. Saat mereka memerlukan bantuan, maka mereka
akan bersemedi atau menyiapkan sesajen untuk memanggil roh nenek moyang.
Alasan
masyarakat primitif menganut animisme
Faktor
internal kemunculan agama ini adalah adanya naluri agama yang di miliki setiap
manusia, utamanya sebagai homo religious. Manusia memiliki kesadaran bahwa
betapapun hebatnya ia, ada satu zat yang memegang kendali pada seluruh kejadian
di alam semesta yang di diaminya. Naluri itu kemudian di representasikan dalam
suatu kepercayaan yang masih sangat terkontaminasi oleh pola pikir umum yang
berlaku di masyarakat tertentu. Sedangkan faktor eksternal yang cukup
berpengaruh, sebatas prediksi, adalah belum masuknya dakwah dari berbagai agama
lain.
MAGIS
Pengetahuan mistis adalah
pengetahuan yang tidak dapat dipahami rasio. Maksudnya, hubungan sebab akibat
yang terjadi tidak dapat dipahami rasio. Dalam Islam, yang termasuk pengetahuan
mistik ialah pengetahuan yang diperoleh melalui jalan tasawuf. Kekebalan juga
termasuk pengetahuan mistik karena tidak dapat diterangkan melalui logika sebab
akibat. Orang dapat kebal karena latihan-latihan tetentu dan bekerjanya hasil
latihan itu tidak dapat dipahami oleh rasio. Adapun yang tidak dipahami oleh
raiso adalah hubungan sebab akibatnya atau mengapanya. Akan tetapi, pengetahuan
ini (kekebalan) dapat dibuktikan secara empiris.
Dilihat dari
segi sifatnya, mistik terbagi atas dua, yaitu:
1.
Mistik biasa
Mistik
biasa adalah mistik tanpa kekuatan tertentu. Dalam islam mistik biasa ini
adalah tasawuf.
2.
Mistik magis
Mistik
magis adalah mistik yang mengandung kekuatan tertentu dan biasanya untuk
mencapai tujuan tertentu. Mistik magis dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Mistik magis putih. Mistik magis putih dalam Islam contohnya ialah
mukjizat, ilmu hikmah.
b.
Mistik magis hitam. Contohnya ialah santet dan sejenisnya yang
menginduk Kemampuan
magis dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:
1.
Mereka yang memiliki kemampuan atau pengaruh melalui kekuatan
mental atau himmah. Itu disebabkan jiwa mereka telah menyatu dengan jiwa setan
atau roh jahat. Para filusuf menyebut mereka sebagai ahli sihir dan kekuatan
mereka luar biasa.
2.
Mereka yang melakukan pengaruh magisnya dengan menggunakan watak
benda-benda atau elemen-elemen yang ada di dalamnya, baik benda angkasa maupun
benda yang ada di bumi. Inilah yang disebut dengan jimat-jimat yang biasa
disimbolkan dalam bentuk benda-benda materiil atau rajah.
3.
Mereka yang melakukan pengaruh magisnya melalui kekuatan imajinasi
sehingga menimbulkan berbagai fantasi pada orang yang dipengaruhi. Kelompok ini
disebut dengan kelompok pesulap (sya’badzah).
ILUSI
Ilusi
berasal dari bahasa latin yaitu illusio yang
berarti cemooh, atau illudere yang berarti mencemoohkan, dan menyesatkan. Ilusi juga bisa berarti tidak dapat
dipercaya atau palsu. Menurut kamus besar bahasa Indonesia Ilusi
diartikan sesuatu yang hanya dalam angan-angan atau khayalan pengamatan
yang tidak sesuai dengan pengindraan dan tidak dapat dipercaya atau palsu.
Ilusi adalah
suatu persepsi panca indra yang disebabkan adanya rangsangan panca indra yang
ditafsirkan secara salah. Dengan kata lain, ilusi adalah penafsiran salah dari suatu rangsangan pada panca
indra. Sebagai contoh; seorang penderita dengan perasaan yang bersalah, dapat
meng-interpretasikan suara gemerisik daun-daun sebagai suara yang mendekatinya.
Ilusi sering terjadi pada saat terjadinya ketakutan yang luar biasa pada
penderita atau karena dalam keadaan keracunan, baik yang disebabkan oleh racun, infeksi, maupun
pemakaian narkotika dan zat adiktif.
Ilusi ini dapat disebabkan dari bermacam-macam bentuk, yaitu bisa berupa
ilusi visual (penglihatan), akustik (pendengaran), olfaktorik (pembauan),
gustatorik (pengecapan), dan ilusi taktil (perabaan).
Bagian-bagian dari ilusi adalah halusinasi, khayalan, fantasi, delusi dan asosiasi. Adapun macam-macam ilusi:
Bagian-bagian dari ilusi adalah halusinasi, khayalan, fantasi, delusi dan asosiasi. Adapun macam-macam ilusi:
1)
Ilusi optis adalah ilusi yang terjadi karena
kesalahan penangkapan mata manusia. Ada beberapa pandangan konvensional bahwa ada ilusi yang bersifat
fisiologis dan bersifat kognitif.
2)
Ilusi fisiologis, efek yang terjadi pada after images
atau kesan gambar yang terjadi setelah melihat cahaya yang sangat terang atau
melihat pola gambar tertentu dalam waktu lama. Ini diduga merupakan efek yang
terjadi pada mata atau otak setelah mendapat rangsangan tertentu secara
berlebihan.
3)
Ilusi kognitif, diasumsikan (diduga) terjadi karena anggapan pikiran terhadap
sesuatu di luar. Pada umumnya ilusi kognitif dibagi menjadi ilusi ambigu, ilusi
distorsi, ilusi paradoks dan ilusi fiksional.
a.
Ilusi ambigu, gambar atau objek bisa
ditafsirkan secara berlainan. Contohnya adalah: kubus Necker dan vas Rubin.
b.
Ilusi distorsi, terdapat distorsi (penyimpangan) ukuran, panjang atau sifat kurva (lurus
lengkung). Contohnya adalah: ilusi dinding kafe dan ilusi Mueller -Lyer.
c.
Ilusi paradoks disebabkan karena
objek yang paradoksikal (pernyataan yang berlawanan) atau tidak mungkin,
misalnya pada segitiga Penrose atau 'tangga yang mustahil', seperti misalnya
terlihat pada karya seni grafis M C Escher, berjudul "Naik dan Turun"
serta "Air Terjun".
d.
Ilusi fiksional dapat didefinisikan sebagai persepsi terhadap objek
yang sama sekali berbeda bagi seseorang tetapi bukan bagi orang lain, seperti disebabkan karena schizoprenia atau halusinogen. Ini lebih tepatnya disebut dengan halusinasi
ALIENASI
Karl Marx telah
menyumbangkan pemikirannya mengenai deskripsi tentang masyarakat industri
modern, terutama yang berkaitan dengan masalah sosial dan agama. Marx berusaha
memahami psikologi masyarakat industri secara tajam dan kritis, khususnya bila
dihubungkan dengan sisi kemanusian. Begitu pula sumbangan Marx yang tidak kalah
berharganya bagi perkembangan dunia pemikiran kegamaan adalah kritiknya yang
tajam terhadap fenomena keberagamaan, terutama pesan yang bisa kita ambil bahwa
terdapat kemungkinan tercorengnya agama oleh perilaku elit-elit agamawan yang
bertindak mengatasnamakan Tuhan/agama.
Pemikiran Marx telah menjadi fenomena global,
terutama ketika Uni Soviet yang menganut komunisme sedang jaya-jayanya menjadi
adikuasa dunia bersama Amerika Serikat. Ia bahkan sampai saat ini masih tetap
hidup, meskipun tidak seluruhnya, terutama di Cina dan Kuba, di kalangan
Neo-Marxis, dan sebagian pemikirannya pada kalangan dependensia di Amerika
Latin dengan teologi pembebasannya. Akan tetapi, kita tidak bisa melewatkan
bahwa teori sosial Marx menuai banyak kritik dari berbagai kalangan. Kritik
pertama yang muncul adalah bahwa analisa sosial Marx diracuni oleh
reduksionisme.
Marx telah
mereduksi keanekaan ungkapan sosial manusia pada bidang ekonomi. Faktor
negara/politik dan cara manusia berfikir yang mempengaruhi cara manusia
berproduksi, suatu pengaruh yang sebenarnya timbal balik, terlewatkan dalam
analisa Marx. Faktor kekuasaan (yang merupakan fenomena yang tidak akan hilang)
juga tidak terbaca oleh Marx. Bahkan ia sama sekali tidak menangkap apa yang
dialami negara-negara modern saat ini yang berkembang dari hanya sebagai
“penjaga malam” dalam kancah kebebasan transaksi sosial rakyatnya menjadi
penyelenggara kehidupan masyarakat dalam hampir segala segi. Mulai dari
ekonomi-politik, pendidikan, lalu lintas, jaminan sosial, pertahanan sosial,
penanaman modal hingga pencarian pekerjaan.
Disisi lain
Marx juga tidak memperhitungkan dimensi kemungkinan reformasi dalam sistem
kapitalisme, sebagaimana yang bisa kita saksikan dewasa ini, yakni dengan
menghilangkan dampak negatif dari mekanisme campuran. Contoh unsur-unsur
sosialisme dalam ekonomi kapitalisme itu adalah tingginya upah yang diterima
buruh, tersalurkan aspirasi mereka dan elit-elitnya lewat serikat-serikat buruh
sehingga mereka pun tidak lagi merasa perlu melakukan revolusi, adanya pajak
pendapatan progresif (menurut besarnya pendapatan), dan peran aktif pemerintah
dalam mendistribusikan kekayaan (Johnson, 1994). Karenanya, Marx dinilai telah
melakukan miskalkulasi, karena tak satu pun negara industri kapitalis asli
(mapan) mengalami revolusi. Revolusi sosialis justru semuanya pecah dalam
negara-negara yang masih agraris, atau baru memulai proses indutrialisasi
seperti Rusia, Cina, Kuba, dan lain-lain. Itu pun ternyata kemudian sebagian hancur
lebur (semisal Rusia) dan yang ada pun mencampurnya dengan sistem kapitalisme
(Cina).
Jadi, tidak
murni seperti yang diinginkan Marx. Pada kenyataan sejarah, revolusi terbukti
bukan satu-satunya jalan, karena pertentangan dua kelas, majikan dan buruh,
bisa dikompromikan. Begitu pula dengan individualitas, yang dalam komunisme
murni ditolak, belakangan ternyata dapat diterima sebagai pendorong dinamisme
oleh negara-negara yang mengikuti pemikiran Marx. Justru demokrasilah ternyata
yang menjembatani kapitalisme menuju sikap-sikap sosial (manusiawi), bukan
revolusi. Dalam hal agama, Marx juga terjebak dalam reduksionisme. Penilaiannya
yang parsial (bukan berangkat dari konsep agama yang mendalam dan menyeluruh),
pemusatan pengamatannya pada agama Katolik, dan tentu saja analisanya yang
berangkat dari faktor ekonomi (produksi) semata, mengakibatkan ia tidak
menangkap: (1) kemunculan agama sebagai kekuatan yang melakukan transformasi
sosial, seperti kemunculan agama Kristen sebagai kritik terhadap Pemerintahan
Romawi yang lalim dan agama Islam dengan tauhidnya, terhadap
kesewenang-wenangan Arab Jahiliyah. (2) Analisanya tidak bisa digunakan pada
agama yang tidak memilki doktrin adanya kehidupan setelah mati. (3) Analisanya
menunjukan luputnya kebutuhan transendental dari perhatian Marx. (4) Usulannya
tentang komunisme yang mengandaikan masyarakat tanpa kelas, tanpa kepemilikan
individu, tanpa pembagian kerja, dan tanpa adanya paksaan, sebagaimana yang
telah digambarkan di atas, Setelah membaca pemikiran Marx tentang agama dan
problem alienasi, kita dapat mengetahui bahwa Marx menilai alienasi sebagai
sesuatu yang inheren dalam indusrialisasi/modernisasi. Alienasi merupakan ciri
sekaligus sindrom masyarakat modern yang disibukkan dengan berbagai kepentingan
sosial politik dan ekonomi. Mereka terasing dari diri dan lingkungannya. Mereka
menjadi pasif, tidak berdaya, dan senantiasa berada dalam situasi yang
menjemukan. Apabila sumber adanya alienasi itu adalah dominasi kelas borjuis
(pemilik modal), maka jalan keluarnya, tulis Marx, ialah menghapuskan kelas
borjuis tersebut melalui revolusi yang akan membidani lahirnya zaman sosialisme
lantas komunisme, yakni suatu masyarakat sama rata sama rasa. Hal tersebut
berarti menggantikan sistem ekonomi kapitalisme dengan sosialisme-komunisme.
Menurut pandangan Karl Marx, mengingat ekonomi merupakan faktor penentu segala
hal, termasuk di dalamnya agama, maka agama dengan demikian berada di bawah
pondasi ekonomi kapitalistik yang eksploitatif yang melahirkan kepincangan
sosial dan keterasingan. Agama telah mengabdi pada kepentingan ekonomi sebagai
alat justifikasi teologis bagi berlangsungnya kondisi yang menghisap, kemudian
penekanannya pada dunia transendental dan kebahagiaan hidup setelah mati telah
mengalihkan perhatian masyarakat dari penderitan dan kesulitan hidupnya. Agama
dalam hal ini hanya merupakan ekspresi keterasingan manusia industri belaka.
Meskipun Marx dapat menjelaskan teorinya di atas konsep dan deskripsi yang
kuat, tetapi sesungguhnya tidak demikian. Pandangan Marx tersebut merupakan
pandangan yang reduksionis. Dalam pandangannya luput kenyataan bahwa kemunculan
agama merupakan kekuatan transformatif dan dunia transendental sebagai
kebutuhan manusia. Selamanya, manusia tidak dapat terlepas dari kebutuhan akan
adanya ketenangan spiritual. Manusia yang homo religious akan cenderung
memasrahkan segalanya yang tidak dapat ia tangani kepada Tuhan, dan dalam hal
ini, media yang paling kompeten untuk mewadahi ketergantungan manusia-manusia
berkeyakinan-Tuhan, adalah agama. Pesan universal agama akan tetap ada,
senantiasa ajeg, dan pasti dibutuhkan oleh manusia beriman selama ia masih
ber’ada’ dalam kehidupan realitas.
SAKRAL DAN PROFAN
Pebahasan
Mircea Eliade tentang Yang Sakral dan Yang Profane dalam kajian agama telah
memberikan sumbangan yang sangat besar bagi agama dan para pengikut agama,
namun dia gagal untuk menjelaskan bagaimana kedua entitas itu terhubung secara
social. Bagi Eliade, penjelasan tentang agama harus mengacu pada pengalaman
manusia yang beragama itu sendiri. Manusia memiliki pengalaman yang sulit
dijelaskan karena berkaitan dengan sesuatu Sakral dan Profane.
Kedua konsep
ini memiliki kekhasan tersendiri di tangan Eliade. Pemikiran ini sangat berbeda
dari pemikiran para pendahulunya yang telah membuat aspek ekonomi, social,
sosiologi, psikologi dan political suatu masyakarat sebagai acuan dalam
mempelajari agama. Dengan kata lain, bagi Eliade, agama adalah hubungan atau
pengalaman manusia dengan Yang Supernatural.
Namun,
pemikiran seperti ini cenderung menegaskan bahwa agama adalah suatu realitas
yang private. Bagi Eliade, agama harus diposisikan sebagai sesuatu yang konstan
sedangkan aspek kehidupan lain, seperti social, psikologi, ekonomi mesti
tergantung pada agama. Pemikiran ini menjadi sangat penting ketika dibandingkan
dengan pemikir agama lainnya. Mereka seperti Karl Marx, Durkheim, Sigmund Freud
telah melihat agama dari salah satu aspek hidup manusia tertentu. Karl Marx
melihat agama dari fenomena ekonomi dalam masyarakat Eropa. Menurut Eliade,
pendekatan yang seperti itu telah membuat agama menjadi sangat sempit dan salah
besar.
\Dengan membuat
agama sebagai variable yang independen yang demikian, Eliade berhasil
menjelaskan dua unsure yang mendasari agama itu sendiri: Yang Sakral dan Yang
Profane. Yang Profane adalah bidang kehidupan sehari-hari yang sering dilakukan
secara teratur, acak dan sebenarnya tidak terlalu penting sementara Yang Sakral
adalah wilayah yang supernatural, sesuatu yang ekstraordinary, tidak mudah
dilupakan dan sangat penting. Dengan kata lain, Yang Profane tidak menjadi
penentu utama dalam hidup manusia sementara Yang Sakral menjadi penentu
keberadaan manusia. Konsep ini sangat berbeda dengan pemikiran Durkheim yang
telah melihat keduanya berdasarkan kesepatakan bersama dalam suatu masyarakat.
Gagasan Eliade ini memberikan kontribusi besar dalam kehidupan beragama dan
bagi agama itu sendiri. Di tengah gempuran rasionalitas abad modern yang telah
menolak dan meruntuhkan aspek irrasional agama, pemikiran tentang Yang Sakral
dan Yang Profane menjadi sangat penting. Agama bukanlah suatu entitas yang
hanya bisa diterima oleh nalar. Agama mengandung unsure-unsur adikrodati yang
tidak bisa dijelaskan secara rasional. Di samping itu, pemikiran ini semakin
memperjelas bahwa agama merupakan respon terhadap yang sacral itu sendiri.
Eliade memberikan banyak contoh terhadap defenisi ini. Dalam realitas agama
saat itu pun, pemikiran ini dapat menemukan banyak contoh konkrit. Upacara
kurban pada bulan suci Ramadan menjadi contoh yang sangat jelas bagaimana umat
Muslim dengan jelas menjaga relasinya dengan Allah. Allah merupakan entitas
yang sangat sacral yang di dalam-Nya berasal keteraturan, kesempurnaan karena
Dia adalah Sempurna. Konsep yang ditawarkan oleh Eliade juga memberikan
kontribusi yang sangat besar pada zaman sekarang ini. Di tengah gempuran
globalisasi dan modernisasi peradaban, hal-hal yang supernatural semakin
ditinggalkan oleh banyak orang. Pengalaman spiritual menjadi sesuatu yang layak
dan harus dihindari. Situasi ini membuat para pratisi keagamaan menjadi
kelabakan karena agama dipandang oleh masyarakat hanya sebagai institusi
belaka. Pemikiran dan penjelasan Eliade tentang Yang Sakral dapat membantu para
praktisi agama untuk menegaskan bahwa Yang Sakral itu masih tetap berperan
dalam hidup manusia. Yang Sakral bukan sesuatu pemberian dari manusia. Karakter
Sakral yang ada di dalamnya bukan disebabkan oleh kesepakatan seperti yang
dijelaskan oleh Durkheim. Kontribusi lainnya dapat diarahkan kepada para
pemikir keagamaan. Eliade berhasil mendorong para sejarawan agama untuk
berusaha melampaui tugas-tugas ilmiah belaka mereka. Dengan tidak terbatas pada
penelitian, para scholars juga diharapkan untuk dapat memahami makna pengalaman
religius yang dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk sejarah yang berbeda. Cara
Yang Sakral ini memanifestasikan dirinya oleh Eliade disebut dengan terminology
“Hierophany”. Kata ini berarti Yang kudus memanifestasikan diri di suatu tempat
dan ini digunakan untuk menunjukkan kisah pewahyuan atau manifestasi dari Yang
kudus. Gagasan ini dengan jelas menekankan aspek ketunggalan dari Yang Kudus
itu. Yang Kudus bukan sesuatu yang berasal atau dibentul oleh manusia seperti
mitos. Yang Kudus itulah yang memanifestasikan dirinya tanpa dipengaruhi
pandangan manusia atau kesepakatan manusia itu sendiri. Akan tetapi, dari semua
bangunan pemikiran Eliade ini, ada satu pikiran kritis terhadapnya yaitu
dukungannya secara tidak langsung pada reduksi agama sebagai pengalaman
individual semata. Memang bagi dia Yang Sakral itu memanifestasikan diri kepada
manusia. Dan bagi dia, manusia yang mendapat anugerah itu adalah manusia yang
tertentu atau yang ditentukan oleh Yang Sakral itu. Dalam hal ini, Eliade
nampaknya gagal untuk menjawab apakah Yang Sakral bisa memanifestasikan dirinya
kepada sekelompok orang sehingga mereka memiliki konsep yang sama tentang Yang
Sakral? Kekurangan ini membuat orang dengan mudah mengklaim diri sebagai
seorang religius tanpa memperdulikan bagaimana pandangan orang terhadapnya.
Kecenderungan yang muncul dari fenomena ini adalah munculnya kesombongan
spiritual. Dengan kata lain, Yang Sakral hanya pengalaman private. Legitimasi
atas Privatisasi Agama. Pemikiran Mircea Eliade terhadap fenomena keagamaan
telah memberikan dampak besar dalam perkembangan teori agama. Argumentasinya
sangat mendasar karena berkaitan langsung dengan apa yang sering dialami oleh
penganut agama. Hanya saja, pemikiran ini perlu dikembangkan lagi dalam
kaitannya dengan perubahan zaman yang semakin meninggalkan agama sebagai suatu
sarana manusia untuk berhubungan dengan Yang Sakral.
Agama dan budaya
David J. Hesselgrave dan Edward Rommen menyebutkan
kebudayaan sebagai pengetahuan bersama untuk menciptakan bentuk-bentuk
perilaku, pola-pola komunikasi (bahasa), nilai-nilai, jenis-jenis alat yang
khas bagi kebudayaan selanjutnya. Dapat dikatakan bahwa budaya
merupakan pabrik pengertian, dengan apa manusia menafsirkan pengalaman dan
menuntun tindakan manusia lain.
Menurut S. Takdir Alisyahbana (196:207-8)
berpendapat bahwa kebudayaan adalah:
1. Suatu
keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari unsure-unsur yang berbeda-beda
seperti ilmu pengetahuan,kepercayaan,seni,hokum,moral,adat istiadat dan segala
kecakapan yang di peroleh manusia sebagai anggota masyarakat
2. Warisan
social atau tradisi.
3. Cara
atau aturan dan jalan hidup manusia.
4. Penyesuain
manusia terhadap alam sekitarnya dan cara menyelesaikan persoalan.
5. Hasil
kecerdasan manusia.
6. Hasil
pergaulan atau pergaulan manusia.
Memahami
penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa Islam merupakan suatu agama yang
bersumber dari Allah SWT yang ajaran-ajarannya diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW , sedangkan Budaya merupakan keseluruhan dari kelakuan dan hasil
kelakuan manusia yang di hasilkan dari cipta, rasa dan karsa manusia.
- Bentuk – Bentuk Agama Dan Kebudayaan.
1. Bentuk
Agama
Agama ada yang bersifat primitif dan ada pula yang dianut
oleh masyarakat yang telah meninggalkan fase keprimitifan. Agama-agama yang
terdapat dalam masyarakat primitif ialah Dinamisme, Animisme, Monoteisme dll,
adapun pengertiannya adalah sebagai berikut:
- Pengertian Agama Dinamisme ialan : Agama yang mengandung kepercayaan pada kekuatan gaib yang misterius. Dalam faham ini ada benda-benda tertentu yang mempunyai kekuatan gaib dan berpengaruh pada kehidupan manusia sehari – hari. Kekuatan gaib itu ada yang bersifat baik dan ada pula yang bersifat jahat. Dan dalam bahasa ilmiah kekuatan gaib itu disebut ‘mana’ dan dalam bahasa Indonesia ‘tuah atau sakti’.
- Pengertian Agama Animisme ialah : Agama yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa, mempunyai roh. Bagi masyarakat primitif roh masih tersusun dari materi yang halus sekali yang dekat menyerupai uap atau udara. Roh dari benda-benda tertentu adakalanya mempunyai pengaruh yang dasyat terhadap kehidupan manusia, Misalnya : Hutan yang lebat, pohon besar dan ber daun lebat, gua yang gelap dll.
- Pengertian Agama Monoteisme ialah : Adanya pengakuan yang hakiki bahwa Tuhan satu, Tuhan Maha Esa, Pencipta alam semesta dan seluruh isi kehidupan ini baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
2. Bentuk
Kebudayaan
1) Kebudayaan
Persia
Dalam sejarah kebudayaan Persia, masyarakatnya banyak yang
menyembah berbagai alam nyata, seperti langit, cahaya, udara, air dan api. Api
dilambangkan sebagai Tuhan baik, sehingga mereka menyembah api yang selalu
dinyalakan didalam rumah – rumah.
2) Kebudayaan
Romawi Timur
a. Kerajaan
Romawi didirikan pada tahun 753 M. Budaya Romawi pada umumnya beragama Nasrani.
Dalam Kebudayaannya dikenal 3 muhzab yang termasyur yaitu : Mazhab Yaaqibah,
yang bertebaran di Mesir, Habsyah Mazhab ini berkeyakinan bahwa Isa Almasih
adalah Allah.
b. Mazhab
Nasathirah yang betebaran di Mesir, Irak, Persia
c. Mazhab
Mulkaniyah, Kedua Mazhab ini berkeyakinan bahwa dalam diri Al-Masih terdapat 2
tabiat yaitu :
a) Tabiat
ketuhanan.
b) Tabiat
kemanusiaan.
3) Kebudayaan
Islam
Sejalan dengan perkembangan dunia dan perubahan zaman,
Ajaran – ajaran Islam pun kian marak dijadikan sebuah Budaya, yang akhirnya
masyarakat sendiri sulit membandingkan antara Agama dengan Budaya.
Contohnya
: Masalah busana muslim “Jilbab”, di zaman dahulu busana muslim atau jilbab
adalah pakaian yang menutup aurat, pakaian longgar dan panjang, sedangkan zaman
sekarang jilbab menjadi sebuah model atau gaya yang mana tidak lagi melihat
pada tuntunan Islam.
- Unsur-Unsur Agama Dan Kebudayaan
- Unsur-Unsur Agama
Unsur-unsur
penting yang terdapat dalam Agama ialah :
Ø Unsur
Kekuatan Gaib : Manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu
sebagai tempat minta tolong. Oleh karena itu, manusia merasa harus mengadakan
hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik ini dapat diwujudkan
dengan mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib itu sendiri.
Ø Keyakinan
Manusia : bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat
tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Dengan
hilangnya hubungan baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan
hilang pula.
Ø Respons
yang bersifat Emosionil dari manusia : Respons itu bisa mengambil bentuk
perasaan takut, seperti yang terdapat dalam agama – agama primitif, atau
perasaan cinta, seperti yang terdapat dalam agama – agama monoteisme.
Selanjutnya respons mengambil bentuk penyembahan yang terdapat dalam agama
primitif, atau pemujaan yang terdapat dalam agama – agama monoteisme. Lebih
lanjut lagi respons itu mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat
yang besangkutan.
Ø Paham
adanya yang kudus (saered) dan suci : dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk
kitab yang mengandung ajaran – ajaran agama bersangkutan dan dalam bentuk
tempat – tempat tertentu.
- Unsur-Unsur Budaya
Adapun Unsur Kebudayaan yang bersifat universal yang dapat
kita sebut sebagai isi pokok tiap kebudayaan di dunia ini, adalah sebagai
berikut :
a) Peralatan
dan perlengkapan hidup manusia sehari – hari misalnya : pakaian, perubahan,
alat rumah tangga, senjata dan sebagainya.
b) Sistem
mata pencaharian dan sistem ekonomi. Misalnya : Pertanian, peternakan, sitem
produksi.
c) Sistem
kemasyarakatan, misalnya : kekerabatan, sistem perkawinan, sistem warisan.
d) Bahasa
sebagai media komunikasi, baik lisan maupun tertulis.
e) Ilmu
Pengetahuan
f) Kesenian,
misalnya : seni suara, seni rupa, seni gerak.
- Agama Budaya
Agama yang dibudayakan adalah ajaran
suatu agama yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh penganutnya
sehingga menghasilkan suatu karya/budaya tertentu yang mencerminkan ajaran
agama yang dibudayakannya itu. Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa
membudayakan agama berarti membumikan dan melaksanakan ajaran agama dalam
kehidupan sehari-hari. Memandang agama bukan sebagai peraturan yang dibuat oleh
Tuhan untuk menyenangkan Tuhan, melainkan agama itu sebagai kebutuhan manusia
dan untuk kebaikan manusia. Adanya agama merupakan hakekat perwujudan Tuhan. Seperti
dalam mengideologikan agama, pembudayaan suatu agama dapat mengangkat citra
agama apabila pembudayaan itu dilakukan dengan tepat dan penuh tanggung jawab
sehingga mampu mencerminkan agamanya. Sebaliknya dapat menurunkan nilai agama
apabila dilakukan dengan tidak bertanggung jawab.
- Hubungan Antara Agama dan Budaya
Kebudayaan dikenal karena adanya hasil-hasil atau
unsur-unsurnya. Unsur-unsur kebudayaan terus menerus bertambah seiring dengan
perkembangan hidup dan kehidupan. Manusia mengembangkan kebudayaan; kebudayaan
berkembang karena manusia. Manusia disebut makhluk yang berbudaya, jika ia
mampu hidup dalam atau sesuai budayanya. Sebagian makhluk berbudaya, bukan saja
bermakna mempertahankan nilai-nilai budaya masa lalu atau warisan nenek
moyangnya; melainkan termasuk mengembangkan (hasil-hasil) kebudayaan.
Di samping kerangka besar kebudayaan, manusia pada
komunitasnya, dalam interaksinya mempunyai norma, nilai, serta kebiasaan turun
temurun yang disebut tradisi. Tradisi biasanya dipertahankan apa adanya; namun
kadangkala mengalami sedikit modifikasi akibat pengaruh luar ke dalam komunitas
yang menjalankan tradisi tersebut. Misalnya pengaruh agama-agama ke dalam
komunitas budaya (dan tradisi) tertentu; banyak unsur-unsur kebudayaan
(misalnya puisi-puisi, bahasa, nyanyian, tarian, seni lukis dan ukir) di isi
formula keagamaan sehingga menghasilkan paduan atau sinkretis antara agama dan
kebudayaan.
Kebudayaan dan berbudaya, sesuai dengan pengertiannya, tidak
pernah berubah; yang mengalami perubahan dan perkembangan adalah hasil-hasil
atau unsur-unsur kebudayaan. Namun, ada kecenderungan dalam masyarakat yang
memahami bahwa hasil-hasil dan unsur-unsur budaya dapat berdampak pada
perubahan kebudayaan. Perbedaan antara agama dan budaya tersebut menghasilkan
hubungan antara iman-agama dan kebudayaan. Sehingga memunculkan hubungan
(bukan hubungan yang saling mengisi dan membangun) antara agama dan
budaya. Akibatnya, ada beberapa sikap hubungan antara Agama dan Kebudayaan,
yaitu:
1. Sikap
Radikal: Agama menentang Kebudayaan. Ini merupakan sikap radikal dan ekslusif,
menekankan pertantangan antara Agama dan Kebudayaan. Menurut pandangan ini,
semua sikon masyarakat berlawanan dengan keinginan dan kehendak Agama. Oleh
sebab itu, manusia harus memilih Agama atau Kebudayaan, karena seseorang
tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Dengan demikian, semua praktek dalam
unsur-unsur kebudayaan harus ditolak ketika menjadi umat beragama.
2. Sikap
Akomodasi: Agama Milik Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan keselarasan antara
Agama dan kebudayaan.
3. Sikap
Perpaduan: Agama di atas Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan adanya suatu
keterikatan antara Agama dan kebudayaan. Hidup dan kehidupan manusia harus
terarah pada tujuan ilahi dan insani; manusia harus mempunyai dua tujuan
sekaligus.
4. Sikap
Pambaharuan: Agama Memperbaharui Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan bahwa Agama
harus memperbaharui masyarakat dan segala sesuatu yang bertalian di dalamnya.
Hal itu bukan bermakna memperbaiki
dan membuat pengertian kebudayaan yang baru; melainkan memperbaharui hasil
kebudayaan. Oleh sebab itu, jika umat beragama mau mempraktekkan unsur-unsur
budaya, maka perlu memperbaikinya agar tidak bertantangan ajaran-ajaran
Agama. Karena perkembangan dan kemajuan masyarakat, maka setiap saat muncul
hasil-hasil kebudayaan yang baru. Oleh sebab itu, upaya pembaharuan kebudayaan
harus terus menerus. Dalam arti, jika masyarakat lokal mendapat pengaruh hasil
kebudayaan dari luar komunitasnya, maka mereka wajib melakukan pembaharuan agar
dapat diterima, cocok, dan tepat ketika mengfungsikan atau menggunakannya. Karena
adanya aneka ragam bentuk hubungan Agama dan Kebudayaan tersebut, maka solusi
terbaik adalah perlu pertimbangan – pengambilan keputusan etis-teologis (sesuai
ajaran agama). Dan untuk mencapai hal tersebut tidak mudah.
Antara Agama dan budaya keduanya sama-sama
melekat pada diri seseorang beragama dan didalamnya sama-sama terdapat
keterlibatan akal fikiran mereka. Dari aspek keyakinanmaupun aspek ibadah
formal, praktik agama akan selalu bersamaan dan bahkan berinteraksi dengan
budaya . kebudayaan sangat berperan penting didalam terbentuknya sebuah praktik
keagamaan bagi seseorang atau masyarakat. Tidak hanya melahirkan bermacam-macam
agama , kebudayaan inilahyang juga mempunyai andil besar bagi terbentuknya
aneka ragam praktik beragama dalaam satu paying agama yang sama. Dalam
kenyataan dua atau lebih orang dengan agama yang sama belum tentu mempunyai
praktek atau cara pengalaman agama , khususnya ritual yang sama. Keragaman cara
beribadah dalam komunitas agama ini mudah kita dapati dalam setiap masyarakat, denganterbentuknya
macam-macam kelompok agama.
Contoh
Hubungan agama dan kebudayaan di dalam kehidupan sehari-hari
1.
Ketika seseorang berpindah agama
cara berfikir dan cara hidupnya dapat berubah secara signifikan. dapat dilihat
seseorang yang beragama Kristen pindah menjadi agama islam maka pandangan
hidupnya akan berubah pula, missal: cara pandang mareka dalam berpakaian ketika
mereka beragama Kristen cara berpakain mereka kurang menutup aurat tetapi
ketika mereka telah beragam islam cara berpakaian mereka menutup aurat.
2.
Ketika ibadah hari raya idul fitri,
hari raya ini dalam praktiknya tidak lagi menjadi perayaan “khas” penganut
agama islam tetapi sudah lebih merupakan tradisi bagi segenap masyarakat
Indonesia. Saling maaf memaafkan yang dulu tidak pernah terjadi di
negeri-negeri timur tengah tetapi masyarakat Indonesia justru di jadikan
momemtum untuk membangun kembali tali persaudaraan seta kesetiakawanan lintas
etnoreligius.
Budaya
Ngaben yang merupakan upacara kematian bagi umat hindu Bali yang
Islam di Indonesia
Secara
intensif, penyebaran agama Islam masuk ke Nusantara baru dimulai pada abad
ke-13. Akan tetapi, agama Islam sendiri sebenarnya telah masuk ke Nusantara
sejak abad pertama Hijrah. Proses penyebaran Islam pun sama sekali tidak
dilatarbelakangi oleh adanya permusuhan dengan pihak manapun, melainkan
didorong oleh semangat dakwah yang bersumber dari Alquran dan tuntunan Nabi
Muhammad SAW. Tersebar dan berkembangnya Islam di Nusantara pun didasari
sebagai arus balik sejarah, atas telah surutnya kerajaan Sriwijaya, serta
melemahnya kerajaan Majapahit menuju keruntuhan (Sjamsudduha, 1987: 165).
Sementara menurut Haidar (2009), pada
sekitar abad ke 7 dan 8, disaat Kerajaan Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya,
selat Malaka sudah mulai dilalui oleh pedagang-pedagang muslim dalam
pelayarannya ke negeri-negeri di Asia Tenggara dan Asia Timur. Berdasarkan
berita Cina zaman Tang, pada abad tersebut diduga bahwa masyarakat muslim telah
ada, baik di Kanfu maupun di Sumatera. Sejalan dengan penjelasan di atas, di
Medan pada tahun 1963, dan di Kuala Simpang Aceh pada tahun 1980, telah
dilaksanakan seminar tentang masuknya Islam ke Nusantara. Kedua seminar
tersebut sepakat menyatakan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada abad
pertama hijriah langsung dari Arab.
Dalam hal ini, terdapat beberapa teori
tentang kedatangan Islam ke Nusantara, terutama berkenaan dengan waktu
datangnya, negeri asalnya, dan pembawanya. Sarjana Belanda kebanyakan
berpendapat bahwa datangnya Islam ke nusantara berasal dari India, di antara
sarjana tersebut adalah Pijnappel dari Universitas Leiden, Moquette, Snouck
Hurgronje. Menurut Hurgronje abad ke-12 adalah periode paling mungkin dari
permulaan penyebaran Islam di Nusantara (Haidar, 2009).
Selain dari teori India, berkembang juga
teori Arab yang berpendapat bahwa Islam di Nusantara berasal dari Arab. Teori
ini juga didukung oleh sejumlah sarjana di antaranya Crawfurd, Niemann, dan
yang paling gigih mempertahankannya adalah Naquib Al Attas. Menurut beberapa
sumber sejarah dijelaskan bahwa Selat Malaka sebagai rute perdagangan yang
telah lama dikenal, menjadi salah satu jalur pedagangan dari dunia Timur ke
Barat, di samping melalui jalan darat.
Dari sisi yang lain, masuknya agama
Islam ke wilayah Nusantara, menjadi sebuah risalah hidup bagi para pengemban
dakwah, yang memiliki kesadaran penuh atas amanah Allah untuk menjadi penerang
kepada setiap muslim. Dan ini sekaligus menjadi dasar awal penyebaran dan
perkembangan risalah Islam di wilayah Nusantara.
Masuknya Islam ke Nusantara pun tidak
bersamaan, ada daerah-daerah yang sejak dini telah dimasuki oleh Islam,
terdapat pula yang terbelakang dimasuki Islam. Berkenaan dengan ini, telah
disepakati bersama oleh para sejarawan Islam, bahwa daerah pertama kali yang
dimasuki Islam adalah Sumatera.
Proses terbentuknya masyarakat muslim di
suatu tempat pun harus melalui proses yang panjang, yang dimulai dari
terbentuknya pribadi-pribadi muslim sebagai hasil dari upaya para da’I. Dalam
perkembangannya, tercatatlah sejumlah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara
telah terbentuk, misalnya seperti Kerajaan Perlak, Pasai, Aceh Darussalam,
Banten, Demak, Mataram, dan lain sebagainya (Haidar, 2009).
Sementara, terkait dengan pihak yang
berperan aktif di dalamnya, menurut Sjamsudduha (1987: 165), para penyebar
Islam di Nusantara pada awal sejarahnya adalah berasal dari orang-orang Arab,
sekaligus masyarakat Indonesia sendiri, yang pada umumnya mereka berprofesi
sebagai seorang pedagang. Sehingga, tidak jarang mereka dikenal sebagai
mubaligh-pedagang atau pedagang-mubaligh.
Lebih lanjut, Sjamsudduha mengatakan
bahwa, dalam proses dakwahnya, mereka lebih memanfaatkan kecerdasan dan
peradaban yang lebih tinggi untuk kepentingan dakwah. Di samping itu, mereka
juga lebih mengutamakan hasil perdagangannya sebagai modal dakwah, daripada
untuk memperkaya diri sendiri.
Di luar dari itu, Arsyad (2012: 217),
mengatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara, memiliki beberapa strategi dan
kesiapan tersendiri. Pertama, Islam yang datang harus dengan mempertimbangkan
tradisi. Dimana, dalam hal ini, tradisi yang berseberangan tidak dilawan,
tetapi diapresiasi yang kemudian dijadikan sarana pengembangan Islam. Kedua,
Islam yang datang tidak boleh mengusik agama atau kepercayaan apapun, sehingga
masyarakat tetap bisa hidup saling berdampingan. Ketiga, Islam yang datang
harus mendinamisir tradisi yang sudah usang, sehingga Islam dapat diterima
sebagai agama. Dan keempat, Islam
menjadi agama yang mentradisi, sehingga orang tidak bisa meninggalkan
Islam dalam kehidupan mereka.
Dengan penerapan beberapa hal diatas,
maka dapat dipastikan agama Islam bisa diterima oleh seluruh masyarakat Nusantara.
Meskipun tingkat penerimaan masing-masing objek berbeda. Bagi mereka yang
memperoleh pengetahuan keagamaan yang memadai, kemungkinan akan menjadi Islam
santri yang taat. Sementara bagi mereka yang kurang memperoleh pengetahuan
keagamaan, seringkali akan disebut dengan Islam abangan, yang mereka secara
ritual tidak taat, tetapi tetap kukuh memegang tradisi, yang semuanya telah
bernuansa Islami.
A. Tipologi Hubungan Islam dan Budaya
Menurut Surjo dalam (Mangun, 2008: 649),
hubungan antara agama Islam dan budaya lokal di Nusantara dapat dilihat dari
beberapa varian, diantaranya yaitu pribumisasi, negosiasi dan konflik.
Pribumisasi menurut Abdullah, diartikan
sebagai penyesuaian antara Islam dengan tradisi lokal wilayah penyebarannya.
Dalam pribumisasi Islam, tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran normative,
yang berasal dari Tuhan diakomodasikan kedalam kebudayaan asli manusia, tanpa
harus menghilangkan identitas diri masing-masing (Mangun, 2008: 653).
Pribumisasi juga bukan upaya yang memicu
timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru
untuk menjaga budaya agar tidak hilang. Karena itu, pribumisasi Islam adalah
kebutuhan, bukan untuk menghindarkan polarisasi antara agama dan budaya, karena
hal itu memang tidak terhindarkan.
Peranan pribumisasi Islam sebenarnya
adalah untuk menjadikan agama dan budaya agar tidak saling mengalahkan,
melainkan terwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuk
yang outentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini
memisahkan antara keduanya. Dengan demikian, tidak akan ada lagi pertentangan
agama dan budaya (Mangun, 2008: 653).
Lebih lanjut, Mangun menjelaskan, bahwa
konsep pribumisasi Islam ini dalam semua
bentuknya dimaksudkan untuk memberikan peluang bagi keanekaragaman interpretasi
dalam praktek kehidupan beragama di setiap wilayah yang berbeda-beda ruang dan
kondisi. Lebih dari itu, pribumisasi Islam juga bukanlah "Jawanisasi"
atau sinkretisme, karena ia hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan yang
dimiliki masyarakat local dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah
hukum itu sendiri. Ia juga bukan upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi
justru membantunya supaya dapat menampung kebutuhan-kebutuban dari budaya,
dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh berbagai pemahaman.
Varian kedua yaitu negosiasi. Proses ini
terjadi ketika agama (Islam), dengan segenap perangkat doktrin yang dimiliki,
berdialektika dengan berbagai budaya yang ada dalam sebuah masyarakat, maka
disana ada kebutuhan untuk saling sama-sama mengubah tradisi yang dimiliki.
Pada wilayah itulah sebetulnya berlangsung sebuah proses negosiasi yang
kadangkala pada batas-batas tertentu, berujung pada perubahan bentuk
masing-masing tradisi (Mangun, 2008: 654).
Varian yang ketiga yaitu konflik. Pola
ini mengutamakan adanya sikap yang saling bertahan antara agama dan budaya
dalam hubungan diantara keduanya. Dari sini maka akan terwujud pola yang
relative "menyimpang", yang dilakukan satu diantara keduanya (Mangun,
2008: 654).
B. Bentuk Interaksi Islam dan Budaya Lokal di Nusantara
Secara sosio-historis, pertemuan yang
terjadi antara agama, terutama Islam dengan budaya-budaya lokal Nusantara, itu
sudah cukup lama mengakar dalam kehidupan masyarakatnya. Pertemuan antara Islam
dengan budaya local Nusantara, ataupun antar ajaran agama yang lainnya, telah
menghasilkan suatu bentuk pengadopsian,
pembuangan, atau bahkan akulturisasi. Sebagai contoh, Sunan Kalijaga
memadukan Islam dengan budaya Jawa (pewayangan) sebagai metode dakwahnya.
Contoh lainnya yaitu kaum tradisional yang mengadopsi konsep Hindu dalam model
pengasramaan santri (Amirullah, 2015: 43).
Menengok kembali kebelakang, sebelum
kedatangan Islam di Nusantara, agama Hindu, Budha dan kepercayaan lain seperti
animisme dan dinamisme, telah berkembang terlebih dahulu. Oleh karena itu,
dengan datangnya Islam, terjadi pertumpangan antara Islam di satu pihak, dengan
kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya di pihak lain. Akibatnya muncul dua
kelompok dalam menerima Islam.
Dalam hal ini, sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Dewes, telah meneliti ulang dua buah manuskrip lama yang berasal
pada abad ke-16 atau ke-15. Pertama, yang menerima Islam secara total dengan
tanpa mengingat pada kepercayaan-kepercayaan lama. Kedua, mereka yang menerima
Islam, tetapi belum dapat melupakan ajaran-ajaran lama.
Kedua manuskrip tersebut menunjukkan
tentang Islam ortodok yang dapat diterima oleh semua pihak di kalangan umat
Islam. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya, masyarakat secara sadar maupun
tidak telah mencampuradukkan antara kebudayaan dan ajaran-ajaran Islam dengan
kepercayaan-kepercayaan lama.
Secara
khusus, bentuk interaksi yang terbentuk antara agama Islam dengan budaya Nusantara
ini dapat terwujud sebagai berikut:
1. Alkulturasi Islam dengan Budaya di Nusantara
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam (Arsyad, 2012: 213), akulturasi adalah percampuran dua kebudayaan atau lebih yang
saling bertemu dan saling memengaruhi. Alkulturaasi juga dapat diartikan
sebagai proses masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat,
sebagian menyerap secara selektif, baik sedikit atau banyak unsur kebudayaan
asing itu, dan sebagian lagi tanpa selektifitas. Juga dapat diartikan sebagai,
proses perpaduan dua atau lebih kebudayaan yang tidak menghilangkan unsure
budaya asli.
Dari
pengertian akulturasi ini, maka dalam konteks masuknya Islam ke Nusantara,
telah terjadi interaksi budaya yang saling
memengaruhi antara budaya lokal dengan Islam. Sehingga, dalam proses
interaksinya, kebudayaan setempat yang sifat tradisionalnya masih kuat, akan
muncul perpaduan budaya asli (lokal) Indonesia, dengan budaya Islam. Perpaduan
inilah yang kemudian disebut sebagai akulturasi kebudayaan.
Upaya
rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia, dan itu selama
ini telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Adapun contoh
konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu yaitu bangunan pada Masjid
Demak. Ranggon atau atap yang berlapis pada Masjid Demak, menurut sejarahnya
diambil dari konsep masa pra Islam (Hindu-Budha), yang itu terdiri dari
sembilan susun. Namun, dalam perkembangannya, Sunan Kalijaga, yang merupakan
salah satu tokoh penting dalam dakwah Islam, memotongnya menjadi tiga susun
saja. Hal ini secara khusus melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang
muslim, yaitu iman, Islam dan ihsan (Kuntowijoyo, 1991: 229).
Hal
ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing dari
Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya
lokal. Dengan fakta ini, sekaligus menjadi bukti bahwa Islam tidak anti budaya.
Semua unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam, asalkan tidak menyalahi
tauhid yang diajarkan (Asnawan, 2011: 91).
Bukti
dari proses persenyawaan antara Islam dan budaya local lainnya dapat ditemukan
dalam bentuk karya-karya yang muncul, seperti Babad, hikayat, lontara, sastra
suluk, mitologi. Sementara bentuk percampurannya dalam bentuk budaya, misalnya
yaitu budaya selamatan, Maulid Nabi,
Yasinan, Sekaten, dan yang lainnya.
Dan
jika dilihat dari sisi yang lain, kebudayaan populer di Indonesia terlihat
banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam. Dengan demikian,
seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting
dalam kebudayaan populer di Indonesia.
2. Sinkretisme Islam dengan Budaya di Nusantara
Sinkretisme
menurut Mangun (2008: 653), adalah suatu bentuk usaha yang memadukan teologi
atau system kepercayaan lama tentang sekian banyak hal yang diyakini sebagai
kekuatan ghaib, beserta dimensi eskatologisnya dengan Islam, yang kemudian
membentuk panteisme. Panteisme adalah pandangan bahwa Allah adalah segalanya
dan semua orang, dan segalanya dan semua orang adalah Allah.
Sinkretisme
juga dapat diartikan sebagai proses perpaduan antara faham-faham atau
aliran-aliran agama atau kepercayaan. Atau dalap diartikan sebagai percampiran
dari berbagai tradisi agama yang berbeda-beda.
Islam
yang berkembang di Nusantara mula-mula adalah Islam Shufi (mistik), yang salah
satu ciri khasnya adalah sifatnya yang toleran dan akomodatif terhadap
kebudayaan dan kepercayaan setempat, dibiarkannya tetap eksis sebagaimana
semula, perbedaannya hanya kemudian diwarnai dan diisi dengan ajaran-ajaran
Islam. Dengan demikian, proses Islamisasi di Indonesia lebih bersifat
kontinuitas apa yang sudah ada, bukannya justru melakukan perubahan dalam
kepercayaan dan praktik keagamaan lokal (Siti, 2005: 46).
Dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Nusantara, dapat dijumpai beberapa bentuk
tulisan, tradisi, dan kepercayaan, telah banyak yang tercampur di dalamnya
antara aspek-aspek dari ajaran Islam dengan unsur-unsur kepercayaan lama.
Upacara-upacara atau tradisi-tradisi masyarakat, baik yang memiliki keterkaitan
dengan ajaran Islam, maupun yang asli budaya adat, tidak dihilangkan oleh
sebagian muballigh ketika melakukan proses Islamisasi, tetapi justru dibiarkan
tetap berlanjut. Meskipun tidak sedikit, kelompok da’I yang secara tegas
memisahkan antara adat dengan ajaran Islam.
Fakta
lainnya terkait hal yang sama, menunjukkan bahwa sebelum Islam datang, di
Nusantara telah berdiri kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan Budha,
seperti kerajaan Sriwijaya dan Majapahit (Arsyad, 2012: 213). Selama masa
pemerintahan kedua kerajaan itu, tentu masyarakat Indonesia telah menyerap
segala aspek, khususnya dalam keyakinan yang dicontohkan.
Kepercayaan-kepercayaan
seperti agama Hindu, Budha, maupun dinamisme dan animisme itulah yang dalam
proses perkembangan Islam, telah erinterelasi dengan kepercayaan-kepercayaan
dalam Islam. Akibatnya, pada beberapa aspek, prinsip ajaran tauhid Islam telah
menyatu dengan berbagai unsur keyakinan Hindu-Budha, maupun kepercayaan
primitif.
Hal
itu terbukti ketika proses Islamisasi yang dimulai sejak abad ke XIII, dimana unsur agama Islam telah
sangat memegang peranan penting dalam membangun jaringan komunikasi antara kerajaan-kerajaan
pesisir dengan pedalaman, unsur yang bercorak Hindu-Budha masih tetap ada.
Dalam segi pemahaman akidah Islam, mereka tidak serta merta yakin dan
melenyapkan alam pikiran filsafat lama, seperti Hindu, Budha, animism,
dinamisme, maupun kepercayaan lainnya. Dan dari sinilah muncul kecenderungan
sinkritisme.
Dengan
sisa-sisa kepercayaan seperti animisme dan dinamisme, dalam hal mengesakan
Allah, tauhid Islam seringkali menjadi tidak murni oleh karena telah tercampur
dengan penuhanan terhadap benda-benda yang diangggap keramat, baik benda mati
maupun benda hidup. Bahkan, seringkali manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan
tertentu dipandang sebagai suci, keramat dan bertuah. Begitu pula dengan
kuburan-kuburan atau makam, pada hari-hari tertentu dipandang memiliki barokah
atau juga bisa membawa kesialan (Siti, 2005: 49).
Bacaan
doa-doa tertentu yang juga seringkali berubah menjadi mantra, ayat-ayat suci
Alquran atau huruf-huruf Arab menjadi jimat yang diyakini memiliki nilai yang
sangat berarti. Sehingga makna Alquran yang sebenarnya sebagai pedoman hidup
manusia dalam bertindak dan berperilaku, justru berubah menjadi sesuatu yang
diyakini sebagai suatu benda yang dikramatkan, dalam hal ini mengandung unsure
mistis.
Sikap
toleran dan akomodatif terhadap kepercayaan dan budaya setempat, di satu sisi
memang dianggap membawa dampak negatif yaitu sinkretisasi dan pencampuradukkan
antara Islam dan budaya di satu sisi, dan antara Islam dengan
kepercayaan-kepercayaan lama di pihak lain. Atas fenomena itu, maka seringkali
sulit dibedakan mana yang benar-benar ajaran Islam dan mana pula yang tercampur
tradisi (Siti, 2005: 47).
Islam dan budaya jawa
A.
CIRI – CIRI
BUDAYA DAN MASYARAKAT JAWA
1.
Budaya Jawa
Kebudayaan suatu
daerah merupakan ciri dari daerah tersebut, begitu juga kebudayaan Jawa
merupakan ciri dari orang – orang Jawa. Maka dari itu kita sebagai orang Jawa
harus mempertahankanbudaya tersebut.
Ciri – ciri
budaya Jawa adalah bersifat :
a. Religius
b. Dogmatis (bersifat mengikuti suatu
ajaran tanpa kritik sama sekali)
c. Toleran(menghargai)
d. Akomodatif (bersifat dapat menyesuaikan,
dll)
2.
Masyarakat Jawa
Masyarakat jawa merupakan suatu
kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi,
maupun agama. Hal ini dapat dilihat pada ciri-ciri masyarakat jawa secara
kekerabatan. Sistem hidup kekeluargaan di jawa tergambar dalam kekerabatan
masyarakat jawa.
Di jawa, anak-anak sering
dibesarkan oleh saudara-saudara, orang tua mereka, bahkan oleh tatangga, dan
anak acap kali di angkat. Hukum adat menuntut setiap orang lelaki bertanggung
jawab terhadap keluarganya dan masih dituntut untuk bekerja membantu karabat
lain dalam hal-hal tertentu seperti mengerjakan tanah pertanian, membuat rumah,
memperbaiki jalan desa, membersihkan lingkungan pekuburan dan sebagainya.
Ciri-ciri utama atau sifat dasar tersebut telah
melahirkan corak, sifat dan kecenderungan yang khas bagi orang Jawa yang
diantaranya adalah:
1. Percaya kepada Tuhan yang Maha Esa,
dengan segala sifat, kekuasaan dan kebesaran-Nya.
2. Bercorak identitas, percaya kepada
sesuatu yang bersifat imateril (bukan kebendaan) dan hal-hal yang bersifat
adikodrati (supranatural=batin) serta cenderung ke arah mistik.
3. Lebih mengutamakan cinta kasih sebagai
landasan pokok hubungan antar manusia.
4. Percaya kepada takdir dan cenderung
bersikap pasrah.
5. Bersifat konvergen (menyatu), universal
dan terbuka.
6. Cenderung pada simbolisme.
7. Cenderung pada gotong-royong, guyub,
rukun dan damai.
8. Cenderung tidak fanatik.
9. Luwes dan lentur.
10. Mengutamakan rasa ketimbang rasio.
11. Kurang kompetitif dan kurang
mengutamakan materi.
Ungkapan Jawa yang mengandung nilai pedagogis/moral
antara lain:
1. Aja Dumeh
Aja dumeh ungkapan sederhana tetapi
mengandung arti menadalam . bila diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia
artinya jangan sok. Pengertian aja dumeh adalah suatu sikap seseorang yang
mendorong untuk berbuat sewenang wenangnya menurut kehendak sendiri, sehingga
lupa diri.
2. Tepa Selira
Tepa
selira secara sederhana dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia tenggang
rasa. Tepa selira merupakan perilaku seseorang yang mampu memahami perasaan
orang lain. Dengan demikian orang yang mempunyai tepa selira tidak akan
bertindak sewenang-wenang jika ia menjadi pemimpin. Kalau dicubit merasa sakit,
ya, jangan mencubit. Tepa selira artinya mampu memahami perasaan orang lain
(empati).
3. Mawas Diri
Mawas diri adalah menandakan
penelitian dan memeriksa di dalam hati nurani, apakah tindakan yang dilakukan
sudah benar sesuai dengan noram-norma dan tata nilai ataukah belum. Mawas diri
identik dengan intropeksi.
4. Budi Luhur
Bagi masyarakat Jawa dalam mendidik
putra-putrinya semenjak mereka kecil sudah dididik menimbang baik dan buruknya
suatu perbuatan.
5. Sikap utama
Untuk mendukung budi pekerti luhur,
masyarakat jawa perlu memiliki sikap utama yaitu suatu sikap yang selalu
mengarah hal-hal yang baik atau utama. Sikap utama telah diuraikan panjang
lebar pada bagian depan buku yang dikandung dalam serat wulang reh karangan sri
susuhunan pakubuwono IV dalam syair-syair tembang secara singkat seperti dalam
syair dhandhanggula, kinanthi, dan sebagainya.
6. Sikap Gugontuhon
Gugontuhon adalah suatu sikap orang
Jawa yang percaya adanya takhayul yang ditandai dengan pemikiran yang kurang
logis. Gugontuhon berasal dari kata gugu artinya taat dan setia terhadap
nasihat orangtua.
7. Sikap Wani Tombok
Wani tombok berarti menanggung rugi
demi harga diri. Sikap wani tembok bagi masyarakat Jawa adalah sikap berani
menanggung risiko atau rugi.
8. Mendhem Jero Mikul Dhuwur
Mendhem jero artinya menutupi
lubang sedalam-dalamnya dengan tanah yang telah digali, mikul dhuwur artinya
mikul= memikul; dhuwur= atas. Jadi arti harfiahnya yaitu menutup lubang sampai
sedalam-dalamnya dan memikul sampai atas. Maksud ungkapan di atas adalah kita
sebagai anak atau generasi penerus harus melenyapkan keburukan, kejelekan atau
kesalahan orangtua apalagi kalau orangtua kita sudah meninggal dunia.
Sifat Gemi,
Nastiti dan Ngati-ati
a. Gemi artinya pandai berhemat, nastiti
artinya cermat dan ngati-ati artinya selalu berhati-hati.
b. Jer Basuki Mawa Beya
c. Hakikat dari ungkapan tersebut adalah
segala sesuatu yang kita cita-citakan harus disertai dengan usaha
sungguh-sungguh.
d. Alon-alon Waton Kelakon
e. Alon-alon waton kelakon artinya meskipun
perlahan-lahan dalm melaksanakan sesuatu, tetapi sudah ada kepastian bahwa apa
yang kita tuju akan tercapai.
f. Ajining Dhiri Saka Obahing Lathi
g. Arti dari ungkapan tersebut adalah harga
diri seseorang tergantung dari apa yang dikatakan. Maksudnya tidak asal
menggerakn bibir saja (obahing lathi) asal omong saja, tetapi apa yang
diucapkan perlu dipertimbangkan baik-baik.
h. Sluman, Slumun, Slamet (3S)
i.
Ungkapan
itu adalah bagaimana usah kita di manapun, kapan pun, dan dalam keadaan apa pun
yang penting adalah dapat selamat.
j.
Tujuan
mempelajari Islam dan Kebudayaan Jawa
B.
SINKRETISME BUDAYA ISLAM JAWA
Secara etimoligis, sinkretisme
berasal dari kata syin dan kretizoen atau kerannynai, yang berarti mencampurkan
elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya adalah suatu
gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada
hal yang agak berbeda dan bertentangan. Menurut Sumanto Al-Qurtubi, proses
sinkretisme menjadi tak terelakkan ketika terjadi perjumpaan dua kebudayaan
atau lebih.
Kuncaraningrat membagi mayrakat
Jawa menjadi dua, yaitu agama Islam Jawan dan agama santri. Yang pertama kurang
taat kepada syariat dan bersikap sinkretis yang menyatukan unsur-unsur
pra-Hindu, Hindu dan Islam. sedangkan yang kedua lebih taat dalam menjalankan
ajaran agama Islam dan bersifat puritan.
Praktek-Praktek
Sinkretisme Budaya Islam Jawa
a.
Penggabungan antara Dua Agama/Aliran atau Lebih
Menggabungkan dua agama atau lebih
dimaksudkan untuk membentuk suatu aliran baru. Biasanya merupakan penggabungan
antara kepercayaan(Lokal Jawa) dengan Agama Islam dan Agama lainnya.
Sebagai
contoh dari langkah ini adalah, ajaran Ilmu Sejati diasaskan pada kesucian yang
dihimpun dari ajaran Islam, Kristen dan Budha.
b.
Bidang Ritual
1. Upacara Midodareni
Sebelum
Islam datang masyarakat Jawa sudah memiliki ritual-ritual sendiri. Seperti
slametan, kelahiran, kematian, membangun/pindah rumah, menanam/memanen padi dan
lain sebagainya. Ketika islam datang
ritual tersebut masih dilakukan hanya isinya diubah dengan unsur-unsur dari
Islam. akibatnya terjadi Islamisasi Jawaisme (Keyakinan dan budaya Jawa)
Upacara
Midodareni misalnya, adalah suatu ritual yang dilangsungkan pada malam hari,
menjelang hari pernikahan. Hal ini dilakukan keluarga pengantin untuk mendekati
bidadari dan roh halus supaya melindungi kedua calon pengantin dari mara
bahaya. Dikalangan muslim yang taat beragama ritual ini diisi dengan pembacaan
barzanji, kalimat toyyibah dan tahlil.
2. Upacara Barokahan dan Sepasaran
Jika
pada masyarakat Islam ketika bayi lahir maka akan diadakan aqiqahan tujuh hari
setelahnya. Satu kambing untuk bayi perempuan dan dua kambing untuk bayi
laki-laki. Namun dalam masyrakat muslim Jawa tidak melaksanakan perintah ini.
sebagai gantinya mereka mengadakan upacara Barokahan (diadakan setelah bayi
lahir) dan sepasaran (ketika bayi berusia lima hari) dengan harapan dan doa.
3. Sungkeman
Menggabungkan
Islam dengan kemasan budaya Jawa. Berbakti kepada orang tua adalah hukumnya
Wajid. Dalam melaksanakan syariat ini masyarakat jawa biasanya menggunakan
media Sungkem.
4. Neloni, Mitoni atau Tingkeban
Adalah upacara ritual khas Jawa
dari proses kehamilan. Neloni, tiga bulanaan usia kehamilan. Mitoni, tujuh
bulanan. Pada masyarakat Jawa kehamilan adalah salah satu proses penting dalam
kehidupan manusia. Maka proses itu tak luput dari ritual untuk ucapan syukur
pada dewa-dewa. Dan ketika Islam datang ritual tersebut mendapat tambahan unsur
Islam.
c.
Pada Aspek Kepercayaan
Fondasi Islam telah menyatu dengan
berbagai unsur keyakinan Hindu-Budha maupun kepercayaan primitif. Sebutan Allah
dengan berbagai nama telah terhimpun dalam asma’al hunsa telah berubah menjadi
Gusti Allah, Gusti Kang Murbeng Dumadi (Al-Khaliq), Ingkang Maha Kuwaos
(al-Qadir), Ingkang Maha Esa (al-Ahad), Ingkang Maha Suci dan lain sebagainya.
Nama-nama itu tercampur dengan nama dari
agama lain hingga muncul sebutan Hyang Maha Agung (Allahu Akbar), Hyang Widi,
Hyang Jagad Nata (Allah rabb al-alamin) atau Hyang Maha Luhur (Allah Ta’ala).
Kata Hyang berarti Tuhan atau lebih tepatnya dewa.
d.
Dalam Doa dan Mantera
Salah satu jasa Sunan Makhdum Ibrahim
(Sunan Bonang) dalam menyebarkan Islam di Jawa adalah mengganti nama-nama Dewa
yang terdapat dalam mantera-mantera dan doa menjadi nama-nama Nabi, Malaikat,
dan tokoh-tokoh terkenal di dalam Islam. Hal ini ditujukan agar masyarakat
berpaling dari memuja dewa dengan menggantinya.
Tujuan mempelajari Islam dan kebudayaan Jawa
diantaranya:
1. Memotivasi masyarakat untuk menumbuhkan
rasa kesadaran kebudayaan yang mencakup suatu sikap perlunya memelihara budaya
2. Spiritualisme, mendorong masyarakat
untuk mengimbangi derasnya arus konsumerisme budaya tersebut dalam era globalisasi melalui peningkatan
pendidikan dan keimanan.
3. Perlunya peran seluruh elemen masyarakat
termasuk pemerintah untuk membantu masyarakat melalui pemberian penghargaan
karya seni, mendorong agar masyarakat yakin tetap berpedoman pada kebudayaan
Jawa sehingga dapat berperilaku sebagaimana orang Jawa (nJawani) dan mencari
jalan bagaimana meningkatkan penggunaan bahasa Jawa terutama Kromo inggil.
4. Untuk menghindari gegar budaya yang
berkonsekuensi adanya pertentangan yang disebabkan karena adanya kesalahpahaman
terhadap kombinasi antara Islam dan kebudayaan Jawa.
Agama dan media
Kata media berasal dari
bahasa Latin, median, yang merupakan bentuk jamak dari medium secara etimologi
yang berarti alat perantara (Asmuni Syukir, 1986 : 17)
Wilbur Schramm (1977) mendefinisikan media sebagai teknologi informasi yang
dapat digunakan dalam pengajaran. Secara lebih spesifik, yang dimaksud dengan
media adalah alat-alat fisik yang menjelaskan isi pesan atau pengajaran,
seperti buku, film, video, kaset, slide, dan sebagainya.
Secara umum dipahami
bahwa istilah ‘media’ mencakup sarana komunikasi seperti pers, media penyiaran
(broadcasting) dan sinema. Namun, terdapat rentang media yang luas
mencakup berbagai jenis hiburan (entertainment) dan informasi untuk
audiens yang besar-majalah atau industri musik. Istilah ‘media’ berlaku bagi
produk-produk informasi dan hiburan dari industri-industri media, begitu
juga contoh-contoh telekomunikasi yang membantu membawakan produk-produk tersebut
kepada kita. Terdapat berbagai ide tentang apakah sejarah media itu dan bagaimana
mendekatinya. Untuk memahami media (dan perkembangannya), kita perlu
menggunakaan kata-kata kunci dan memahami bagaimana mereka berkaitan dengan
isu-isu tentang pengaruh dan konstruksi media.
Terdapat berbagai
pendekatan kritis terhadap kajian media dalam perkembangan kritik media.
Pendekatan-pendekatan ini secara bervariasi memberikan tekanan kepada pemahaman
terhadap bisnis dan produsen media, kepada teks-teks media dan konstruksinya,
dan kepada para audiens media dan konteks social.
Dalam perkembangan
studi media, kritik telah beranjak dari mempercayai bahwa media melakukan
pelbagai hal kepada orang-orang, ke mengamati apa yang dilakukan orang-orang
dengan media, dan pada materi media yang sesungguhnya. Minat terhadap efek-efek
media telah menjadi faktor yang konstan ketika studi tentang media mengalami
kemajuan. Hal ini penting dalam kritik-kritik sosiologi terhadap media.
Media dibagi menjadi
dua, yaitu:
a.
Nonmedia Massa
1.
Manusia; utusan, kurir, dan lain-lain.
2.
Benda; telepon, surat, dan lain-lain.
b.
Media Massa
1.
Media massa manusia; pertemuan, rapat umum, seminar, sekolah dan
lain-lain.
2.
Media massa benda; spanduk, buku, selebaran, poster, folder, dan
lain-lain.
3.
Media massa periodik–cetak dan elektronik;visual, audio, dan audio
visual (Darwanto Sastro Subroto dalam Amin, 2009: 114)
Media
dakwah pada zaman Rasulullah dan sahabat sangat terbatas, yakni berkisar pada
dakwah qauliyah bi al-lisan dan dakwah fi’liyyah bi al-uswah,
ditambah dengan media penggunaan surat (rasail) yang sangat terbatas. Satu abad kemudian, dakwah menggunakan media, yaitu qashash (tukang
cerita) dan muallafat (karangan tertulis) diperkenalkan. Media yang
disebut terakhir ini berkembang cukup pesat dan dapat bertahan sampai saat ini.
Pada abad ke-14 Hijriah, kita menyaksikan perkembangan di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Di samping pengaruh-pengaruhnya
yang negatif terhadap dakwah, tidak dapat dikesampingkan adanya pengaruh
positif yang dapat mendorong lajunya dakwah. Dalam rangka inilah, dakwah dengan
menggunakan media-media baru seperti surat kabar, majalah, cerpen, cergam,
piringan hitam, kaset, film, radio, televisi, stiker, lukisan, iklan,
pementasan di arena pertunjukan, puisi, nyanyian, musik, dan media seni lainnya,
dapat mendorong dan membantu para pelaku dakwah dalam menjalankan tugasnya (Ali
Yafie, 1997 : 91-92).
Adapun yang dimaksud
media dakwah, adalah peralatan yang dipergunakan untuk menyampaikan materi
dakwah kepada penerima dakwah. Pada zaman modern seperti sekarang ini, seperti
televisi, video, kaset rekaman, majalah, dan surat kabar (Wardi Bachtiar, 1997
: 35). Seorang da’i sudah tentu memiliki tujuan yang hendak dicapai, agar
mencapai tujuan yang efektif dan efisien, da’i harus mengorganisir komponen-komponen
(unsur) dakwah secara baik dan tepat. Salah satu komponen adalah media dakwah.
A.
Media
Dakwah POP
Kecenderungan
hidup manusia pada abad mutakhir ini digambarkan futuristic lawas, John Naisbit
dan Patricia Aburden dalam Mega Trend 2000, memiliki gaya hidup (life style)
yang lebih mengandalkan pada hiburan (film), makanan (food) dan pakian
(fashion). Lebih mengandalkan gaya hidup pada kenikmatan-kenikmatan yang
bersifat praktis dan pragmatis menyenangkan, bisa dirasakan pada saat ini yang
lebih positifistik, sehingga mengabaikan aspek-aspek yang lebih bersifat
substantive dan orientasi pada isi bukan bentuk.
Kecenderungan manusia atau mad’u dalam term dakwah ini,
membawa pengaruh dan menyeret unsur-unsur social lainnya, tidak terkecuali para
mubalig yang juga berani mengiikuti arus zaman dengan segala kecerdasan dan
kekuasaannya karena kurang menguasai perangkat-perangkat keras maupun lunak
yang dituntut manusia pada abad modern ini.
Keterampilan
dan kecerdasan mengendalikan perangkat-perangkat lunak maupun keras tersebut,
telah menjadi bagian penting dalam melahirkan model-model mubalig yang lebih
mempunyai akses terhadap saluran-saluran sebagaimana digandrungi mainstream
utama budaya masyarakat. Mubalig yang kurang memiliki akses terhadap elemen-elemen
budaya pop seperti terjadi saat ini akan tergeser dan tergusur oleh
mubalig-mubalig yang akrab dan mengenali kemana arah utama budaya manusia itu
akan mengalir.
Sebagai bahan pendahuluan, mengacu
John Storey, dalam Cultural Studies
dan Kajian Budaya Pop, mengungkap
beberapa tren saluran budaya popular yang digandrungi saat ini dan menjunjung
tinggi perubahan. Oleh karena itu, tidak ada salahnya, segmen masyarakat
seperti mubalig juga menggunakan saluran-saluran popular budaya tersebut se
dirangkum dari berbagai sumber. daftar pustaka silahkan PM WA .085740460313
0 Response to "RESUME DAN REVIEW MATAKULIAH SOSIOLOGI AGAMA FULL"
Post a Comment
Tak peduli seperti apa hidupmu, kamu selalu punya pilihan untuk melihat dari sisi baiknya atau sisi buruknya. mari saling berbagi