-->

RESUME DAN REVIEW MATAKULIAH SOSIOLOGI AGAMA FULL



RESUME SOSIOLOGI AGAMA
Di susun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Agama
Dosen : Muhammad Fahmi, M.SI





Disusun oleh :

                                              ABDUL AZIZ ALFIANSYAH       131211030

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
SURAKARTA
2015



Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, agama yang berarti "tradisi". Kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan
Menurut Nurcholish Madjit agama adalah sikap pasrah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, pencipta seluruh langit dan bumi. Menurut Emile Durkheim definisi Agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci dan menyatukan semua penganutnya dalam suatu komunitas moral yang di namakan umat.

ANIMISME


Menurut Taylor dan Comte, animisme adalah tahap pertama pembentukan agama. Dalam istilah mereka, peradaban itu dimulai dengan adanya pemikiran animisme, kemudian berkembang menjadi agama. Anima yang berasal dari bahasa latin yaitu anima yang berarti roh. Kepercayaan Animisme merupakan kepercayaan kepada makhluk halus dan roh.
Pengertian roh dalam masyarakat primitif tidak sama dengan pengertian roh dalam paham modern. Mereka belum dapat membayangkan roh yang bersifat immateri. Oleh karena itu, menurut mereka roh terdiri atas materi yang sangat halus. Sifat dari roh ini mempunyai bentuk, umur, dan mampu makan. Bagi orang-orang Bantu di Afrika, roh mesti diberi makan, sama halnya manusia. Bagi penduduk Pulau Andaman, roh mempunyai kaki dan tangan yang panjang, tetapi badannya kecil, pergi berburu makan babi, menari dan bernyanyi. Bagi orang-orang Indian Amerika, roh naik ke langit membentuk awan ketika seseorang wafat.
Di Indonesia terutama di bagian timur Indonesia, masih banyak yang menganut animism. Seperti ketika mereka mengadakan upacara-upacara adat, mereka sering mengundang roh-roh nenek moyang dengan melakukan berbagai ritual dan beberapa sesaji agar roh-roh nenek moyang mereka hadir dan ikut serta dalam upacara adat tersebut.
Mereka kadang menaruh sesaji dibawah pohon dan meminta sesuatu dari pohon tersebut karena, mereka percaya pohon tersebut memiliki kekuatan. Animisme dan dinamisme bukanlah agama, animism adalah suatu sistem kepercayaan selain kepada Tuhan, dimana orang yang menganut kepercayan tersebut percaya bahwa yang di anutnya tersebut memiliki kekuatan tersendiri. Di Indonesia sendiri memiliki 6 agama, dan terkadang animism dapat masuk kedalam agama tersebut. Sebagai contoh, orang memeluk agama islam,. Animisme tidak dapat dijadikan agama karena tidak memiliki syarat dan ketentuan tertentu dan tidak tersistem dengan baik, penganutnya pun juga sedikit hanya beberapa orang. Tidak memiliki sistem yang terstruktur, seperti kitab, nabi (dalam islam), dll, sehingga animisme tidak dapat dijadikan sebagai agama yang dapat dianut oleh sebagian besar masyarakat.
Beberapa macam kepercayaan animisme di Indonesia.

1.      Kepercayaan dan penyembahan pada alam (Natureworship)..
Menurut mereka, setiap materi memiliki kesamaan sifat dengan manusia. Sebagai contoh, api memiliki sifat yang sama dengan manusia. Api memiliki kekuatan untuk membunuh atau melenyapkan apapun dengan panasnya, sebagaimana manusia mampu membunuh binatang dengan kekuatan tangannya. Oleh karena itu, api mempunyai roh. Bagi manusia primitif, menyembah api adalah proses menghormati keberadaan api. Penyembahan tersebut dilakukan agar tidak terjadi kebakaran hutan, sedangkan kebakaran diyakini sebagai bentuk kemurkaan api.[1]

2.      Kepercayaan dan penyembahan pada benda keramat
Kepercayaan bahwa benda tertentu memiliki suatu kekuatan ghaib. Mereka percaya, barang siapa memakai benda itu maka akan memiliki suatu kekuatan supranatural dan akan terhindar dari segala malapetaka. Sehingga benda – benda tersebut akan dimuliakan layaknya tuhan. Mereka juga percaya, jika benda itu tidak diberi sesajen, maka akan terjadi suatu malapetaka.
3.      Kepercayaan dan penyembahan pada binatang
Binatang disembah karena adanya suatu kepercayaan bahwa binatang tertentu memiliki suatu kekuatan ghaib. Binatang itu juga dipercaya akan memberi suatu manfaat atau keselamatan bagi manusia itu. Contoh : penyembahan terhadap sapi, ular, dan sebagainya.
4.      Kepercayaan dan penyembahan terhadap roh nenek moyang
Kepercayaan bahwa nenek moyang yang telah mati itu rohnya masih berkeliaran dan ada disekitar kehidupan manusia. Mereka menganggap bahwa roh nenek moyang itu memiliki kekuatan tersendiri. Sehingga saat mereka menggantungkan segala kesusahannya pada roh nenek moyang. Saat mereka memerlukan bantuan, maka mereka akan bersemedi atau menyiapkan sesajen untuk memanggil roh nenek moyang.
Alasan masyarakat primitif menganut animisme
Faktor internal kemunculan agama ini adalah adanya naluri agama yang di miliki setiap manusia, utamanya sebagai homo religious. Manusia memiliki kesadaran bahwa betapapun hebatnya ia, ada satu zat yang memegang kendali pada seluruh kejadian di alam semesta yang di diaminya. Naluri itu kemudian di representasikan dalam suatu kepercayaan yang masih sangat terkontaminasi oleh pola pikir umum yang berlaku di masyarakat tertentu. Sedangkan faktor eksternal yang cukup berpengaruh, sebatas prediksi, adalah belum masuknya dakwah dari berbagai agama lain.
 
MAGIS


Pengetahuan mistis adalah pengetahuan yang tidak dapat dipahami rasio. Maksudnya, hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio. Dalam Islam, yang termasuk pengetahuan mistik ialah pengetahuan yang diperoleh melalui jalan tasawuf. Kekebalan juga termasuk pengetahuan mistik karena tidak dapat diterangkan melalui logika sebab akibat. Orang dapat kebal karena latihan-latihan tetentu dan bekerjanya hasil latihan itu tidak dapat dipahami oleh rasio. Adapun yang tidak dipahami oleh raiso adalah hubungan sebab akibatnya atau mengapanya. Akan tetapi, pengetahuan ini (kekebalan) dapat dibuktikan secara empiris.
Dilihat dari segi sifatnya, mistik terbagi atas dua, yaitu:
1.        Mistik biasa
Mistik biasa adalah mistik tanpa kekuatan tertentu. Dalam islam mistik biasa ini adalah tasawuf.
2.        Mistik magis
Mistik magis adalah mistik yang mengandung kekuatan tertentu dan biasanya untuk mencapai tujuan tertentu. Mistik magis dibagi menjadi dua, yaitu:
a.         Mistik magis putih. Mistik magis putih dalam Islam contohnya ialah mukjizat, ilmu hikmah.
b.        Mistik magis hitam. Contohnya ialah santet dan sejenisnya yang menginduk Kemampuan
magis dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:
1.        Mereka yang memiliki kemampuan atau pengaruh melalui kekuatan mental atau himmah. Itu disebabkan jiwa mereka telah menyatu dengan jiwa setan atau roh jahat. Para filusuf menyebut mereka sebagai ahli sihir dan kekuatan mereka luar biasa.
2.        Mereka yang melakukan pengaruh magisnya dengan menggunakan watak benda-benda atau elemen-elemen yang ada di dalamnya, baik benda angkasa maupun benda yang ada di bumi. Inilah yang disebut dengan jimat-jimat yang biasa disimbolkan dalam bentuk benda-benda materiil atau rajah.
3.        Mereka yang melakukan pengaruh magisnya melalui kekuatan imajinasi sehingga menimbulkan berbagai fantasi pada orang yang dipengaruhi. Kelompok ini disebut dengan kelompok pesulap (sya’badzah).
ILUSI

Ilusi berasal dari bahasa latin yaitu illusio yang berarti cemooh, atau illudere yang berarti mencemoohkan, dan menyesatkan. Ilusi juga bisa berarti tidak dapat dipercaya atau palsu. Menurut kamus besar bahasa Indonesia Ilusi diartikan sesuatu yang hanya dalam angan-angan atau khayalan pengamatan yang tidak sesuai dengan pengindraan dan tidak dapat dipercaya atau palsu.
Ilusi adalah suatu persepsi panca indra yang disebabkan adanya rangsangan panca indra yang ditafsirkan secara salah. Dengan kata lain, ilusi adalah penafsiran salah dari suatu rangsangan pada panca indra. Sebagai contoh; seorang penderita dengan perasaan yang bersalah, dapat meng-interpretasikan suara gemerisik daun-daun sebagai suara yang mendekatinya. Ilusi sering terjadi pada saat terjadinya ketakutan yang luar biasa pada penderita atau karena dalam keadaan keracunan, baik yang disebabkan oleh racun, infeksi, maupun pemakaian narkotika dan zat adiktif.
Ilusi ini dapat disebabkan dari bermacam-macam bentuk, yaitu bisa berupa ilusi visual (penglihatan), akustik (pendengaran), olfaktorik (pembauan), gustatorik (pengecapan), dan ilusi taktil (perabaan).
Bagian-bagian dari ilusi adalah halusinasi, khayalan, fantasi, delusi dan asosiasi. Adapun macam-macam ilusi:
1)      Ilusi optis adalah ilusi yang terjadi karena kesalahan penangkapan mata manusia. Ada beberapa pandangan konvensional bahwa ada ilusi yang bersifat fisiologis dan bersifat kognitif.
2)      Ilusi fisiologis, efek yang terjadi pada after images atau kesan gambar yang terjadi setelah melihat cahaya yang sangat terang atau melihat pola gambar tertentu dalam waktu lama. Ini diduga merupakan efek yang terjadi pada mata atau otak setelah mendapat rangsangan tertentu secara berlebihan.
3)      Ilusi kognitif, diasumsikan (diduga) terjadi karena anggapan pikiran terhadap sesuatu di luar. Pada umumnya ilusi kognitif dibagi menjadi ilusi ambigu, ilusi distorsi, ilusi paradoks dan ilusi fiksional.
a.       Ilusi ambigu, gambar atau objek bisa ditafsirkan secara berlainan. Contohnya adalah: kubus Necker dan vas Rubin.
b.      Ilusi distorsi, terdapat distorsi (penyimpangan) ukuran, panjang atau sifat kurva (lurus lengkung). Contohnya adalah: ilusi dinding kafe dan ilusi Mueller -Lyer.
c.       Ilusi paradoks disebabkan karena objek yang paradoksikal (pernyataan yang berlawanan) atau tidak mungkin, misalnya pada segitiga Penrose atau 'tangga yang mustahil', seperti misalnya terlihat pada karya seni grafis M C Escher, berjudul "Naik dan Turun" serta "Air Terjun".
d.      Ilusi fiksional dapat didefinisikan sebagai persepsi terhadap objek yang sama sekali berbeda bagi seseorang tetapi bukan bagi orang lain, seperti disebabkan karena schizoprenia atau halusinogen. Ini lebih tepatnya disebut dengan halusinasi

ALIENASI

Karl Marx telah menyumbangkan pemikirannya mengenai deskripsi tentang masyarakat industri modern, terutama yang berkaitan dengan masalah sosial dan agama. Marx berusaha memahami psikologi masyarakat industri secara tajam dan kritis, khususnya bila dihubungkan dengan sisi kemanusian. Begitu pula sumbangan Marx yang tidak kalah berharganya bagi perkembangan dunia pemikiran kegamaan adalah kritiknya yang tajam terhadap fenomena keberagamaan, terutama pesan yang bisa kita ambil bahwa terdapat kemungkinan tercorengnya agama oleh perilaku elit-elit agamawan yang bertindak mengatasnamakan Tuhan/agama.
 Pemikiran Marx telah menjadi fenomena global, terutama ketika Uni Soviet yang menganut komunisme sedang jaya-jayanya menjadi adikuasa dunia bersama Amerika Serikat. Ia bahkan sampai saat ini masih tetap hidup, meskipun tidak seluruhnya, terutama di Cina dan Kuba, di kalangan Neo-Marxis, dan sebagian pemikirannya pada kalangan dependensia di Amerika Latin dengan teologi pembebasannya. Akan tetapi, kita tidak bisa melewatkan bahwa teori sosial Marx menuai banyak kritik dari berbagai kalangan. Kritik pertama yang muncul adalah bahwa analisa sosial Marx diracuni oleh reduksionisme.
Marx telah mereduksi keanekaan ungkapan sosial manusia pada bidang ekonomi. Faktor negara/politik dan cara manusia berfikir yang mempengaruhi cara manusia berproduksi, suatu pengaruh yang sebenarnya timbal balik, terlewatkan dalam analisa Marx. Faktor kekuasaan (yang merupakan fenomena yang tidak akan hilang) juga tidak terbaca oleh Marx. Bahkan ia sama sekali tidak menangkap apa yang dialami negara-negara modern saat ini yang berkembang dari hanya sebagai “penjaga malam” dalam kancah kebebasan transaksi sosial rakyatnya menjadi penyelenggara kehidupan masyarakat dalam hampir segala segi. Mulai dari ekonomi-politik, pendidikan, lalu lintas, jaminan sosial, pertahanan sosial, penanaman modal hingga pencarian pekerjaan.
Disisi lain Marx juga tidak memperhitungkan dimensi kemungkinan reformasi dalam sistem kapitalisme, sebagaimana yang bisa kita saksikan dewasa ini, yakni dengan menghilangkan dampak negatif dari mekanisme campuran. Contoh unsur-unsur sosialisme dalam ekonomi kapitalisme itu adalah tingginya upah yang diterima buruh, tersalurkan aspirasi mereka dan elit-elitnya lewat serikat-serikat buruh sehingga mereka pun tidak lagi merasa perlu melakukan revolusi, adanya pajak pendapatan progresif (menurut besarnya pendapatan), dan peran aktif pemerintah dalam mendistribusikan kekayaan (Johnson, 1994). Karenanya, Marx dinilai telah melakukan miskalkulasi, karena tak satu pun negara industri kapitalis asli (mapan) mengalami revolusi. Revolusi sosialis justru semuanya pecah dalam negara-negara yang masih agraris, atau baru memulai proses indutrialisasi seperti Rusia, Cina, Kuba, dan lain-lain. Itu pun ternyata kemudian sebagian hancur lebur (semisal Rusia) dan yang ada pun mencampurnya dengan sistem kapitalisme (Cina).
Jadi, tidak murni seperti yang diinginkan Marx. Pada kenyataan sejarah, revolusi terbukti bukan satu-satunya jalan, karena pertentangan dua kelas, majikan dan buruh, bisa dikompromikan. Begitu pula dengan individualitas, yang dalam komunisme murni ditolak, belakangan ternyata dapat diterima sebagai pendorong dinamisme oleh negara-negara yang mengikuti pemikiran Marx. Justru demokrasilah ternyata yang menjembatani kapitalisme menuju sikap-sikap sosial (manusiawi), bukan revolusi. Dalam hal agama, Marx juga terjebak dalam reduksionisme. Penilaiannya yang parsial (bukan berangkat dari konsep agama yang mendalam dan menyeluruh), pemusatan pengamatannya pada agama Katolik, dan tentu saja analisanya yang berangkat dari faktor ekonomi (produksi) semata, mengakibatkan ia tidak menangkap: (1) kemunculan agama sebagai kekuatan yang melakukan transformasi sosial, seperti kemunculan agama Kristen sebagai kritik terhadap Pemerintahan Romawi yang lalim dan agama Islam dengan tauhidnya, terhadap kesewenang-wenangan Arab Jahiliyah. (2) Analisanya tidak bisa digunakan pada agama yang tidak memilki doktrin adanya kehidupan setelah mati. (3) Analisanya menunjukan luputnya kebutuhan transendental dari perhatian Marx. (4) Usulannya tentang komunisme yang mengandaikan masyarakat tanpa kelas, tanpa kepemilikan individu, tanpa pembagian kerja, dan tanpa adanya paksaan, sebagaimana yang telah digambarkan di atas, Setelah membaca pemikiran Marx tentang agama dan problem alienasi, kita dapat mengetahui bahwa Marx menilai alienasi sebagai sesuatu yang inheren dalam indusrialisasi/modernisasi. Alienasi merupakan ciri sekaligus sindrom masyarakat modern yang disibukkan dengan berbagai kepentingan sosial politik dan ekonomi. Mereka terasing dari diri dan lingkungannya. Mereka menjadi pasif, tidak berdaya, dan senantiasa berada dalam situasi yang menjemukan. Apabila sumber adanya alienasi itu adalah dominasi kelas borjuis (pemilik modal), maka jalan keluarnya, tulis Marx, ialah menghapuskan kelas borjuis tersebut melalui revolusi yang akan membidani lahirnya zaman sosialisme lantas komunisme, yakni suatu masyarakat sama rata sama rasa. Hal tersebut berarti menggantikan sistem ekonomi kapitalisme dengan sosialisme-komunisme. Menurut pandangan Karl Marx, mengingat ekonomi merupakan faktor penentu segala hal, termasuk di dalamnya agama, maka agama dengan demikian berada di bawah pondasi ekonomi kapitalistik yang eksploitatif yang melahirkan kepincangan sosial dan keterasingan. Agama telah mengabdi pada kepentingan ekonomi sebagai alat justifikasi teologis bagi berlangsungnya kondisi yang menghisap, kemudian penekanannya pada dunia transendental dan kebahagiaan hidup setelah mati telah mengalihkan perhatian masyarakat dari penderitan dan kesulitan hidupnya. Agama dalam hal ini hanya merupakan ekspresi keterasingan manusia industri belaka. Meskipun Marx dapat menjelaskan teorinya di atas konsep dan deskripsi yang kuat, tetapi sesungguhnya tidak demikian. Pandangan Marx tersebut merupakan pandangan yang reduksionis. Dalam pandangannya luput kenyataan bahwa kemunculan agama merupakan kekuatan transformatif dan dunia transendental sebagai kebutuhan manusia. Selamanya, manusia tidak dapat terlepas dari kebutuhan akan adanya ketenangan spiritual. Manusia yang homo religious akan cenderung memasrahkan segalanya yang tidak dapat ia tangani kepada Tuhan, dan dalam hal ini, media yang paling kompeten untuk mewadahi ketergantungan manusia-manusia berkeyakinan-Tuhan, adalah agama. Pesan universal agama akan tetap ada, senantiasa ajeg, dan pasti dibutuhkan oleh manusia beriman selama ia masih ber’ada’ dalam kehidupan realitas.


SAKRAL DAN PROFAN

Pebahasan Mircea Eliade tentang Yang Sakral dan Yang Profane dalam kajian agama telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi agama dan para pengikut agama, namun dia gagal untuk menjelaskan bagaimana kedua entitas itu terhubung secara social. Bagi Eliade, penjelasan tentang agama harus mengacu pada pengalaman manusia yang beragama itu sendiri. Manusia memiliki pengalaman yang sulit dijelaskan karena berkaitan dengan sesuatu Sakral dan Profane.
Kedua konsep ini memiliki kekhasan tersendiri di tangan Eliade. Pemikiran ini sangat berbeda dari pemikiran para pendahulunya yang telah membuat aspek ekonomi, social, sosiologi, psikologi dan political suatu masyakarat sebagai acuan dalam mempelajari agama. Dengan kata lain, bagi Eliade, agama adalah hubungan atau pengalaman manusia dengan Yang Supernatural.
Namun, pemikiran seperti ini cenderung menegaskan bahwa agama adalah suatu realitas yang private. Bagi Eliade, agama harus diposisikan sebagai sesuatu yang konstan sedangkan aspek kehidupan lain, seperti social, psikologi, ekonomi mesti tergantung pada agama. Pemikiran ini menjadi sangat penting ketika dibandingkan dengan pemikir agama lainnya. Mereka seperti Karl Marx, Durkheim, Sigmund Freud telah melihat agama dari salah satu aspek hidup manusia tertentu. Karl Marx melihat agama dari fenomena ekonomi dalam masyarakat Eropa. Menurut Eliade, pendekatan yang seperti itu telah membuat agama menjadi sangat sempit dan salah besar.
\Dengan membuat agama sebagai variable yang independen yang demikian, Eliade berhasil menjelaskan dua unsure yang mendasari agama itu sendiri: Yang Sakral dan Yang Profane. Yang Profane adalah bidang kehidupan sehari-hari yang sering dilakukan secara teratur, acak dan sebenarnya tidak terlalu penting sementara Yang Sakral adalah wilayah yang supernatural, sesuatu yang ekstraordinary, tidak mudah dilupakan dan sangat penting. Dengan kata lain, Yang Profane tidak menjadi penentu utama dalam hidup manusia sementara Yang Sakral menjadi penentu keberadaan manusia. Konsep ini sangat berbeda dengan pemikiran Durkheim yang telah melihat keduanya berdasarkan kesepatakan bersama dalam suatu masyarakat. Gagasan Eliade ini memberikan kontribusi besar dalam kehidupan beragama dan bagi agama itu sendiri. Di tengah gempuran rasionalitas abad modern yang telah menolak dan meruntuhkan aspek irrasional agama, pemikiran tentang Yang Sakral dan Yang Profane menjadi sangat penting. Agama bukanlah suatu entitas yang hanya bisa diterima oleh nalar. Agama mengandung unsure-unsur adikrodati yang tidak bisa dijelaskan secara rasional. Di samping itu, pemikiran ini semakin memperjelas bahwa agama merupakan respon terhadap yang sacral itu sendiri. Eliade memberikan banyak contoh terhadap defenisi ini. Dalam realitas agama saat itu pun, pemikiran ini dapat menemukan banyak contoh konkrit. Upacara kurban pada bulan suci Ramadan menjadi contoh yang sangat jelas bagaimana umat Muslim dengan jelas menjaga relasinya dengan Allah. Allah merupakan entitas yang sangat sacral yang di dalam-Nya berasal keteraturan, kesempurnaan karena Dia adalah Sempurna. Konsep yang ditawarkan oleh Eliade juga memberikan kontribusi yang sangat besar pada zaman sekarang ini. Di tengah gempuran globalisasi dan modernisasi peradaban, hal-hal yang supernatural semakin ditinggalkan oleh banyak orang. Pengalaman spiritual menjadi sesuatu yang layak dan harus dihindari. Situasi ini membuat para pratisi keagamaan menjadi kelabakan karena agama dipandang oleh masyarakat hanya sebagai institusi belaka. Pemikiran dan penjelasan Eliade tentang Yang Sakral dapat membantu para praktisi agama untuk menegaskan bahwa Yang Sakral itu masih tetap berperan dalam hidup manusia. Yang Sakral bukan sesuatu pemberian dari manusia. Karakter Sakral yang ada di dalamnya bukan disebabkan oleh kesepakatan seperti yang dijelaskan oleh Durkheim. Kontribusi lainnya dapat diarahkan kepada para pemikir keagamaan. Eliade berhasil mendorong para sejarawan agama untuk berusaha melampaui tugas-tugas ilmiah belaka mereka. Dengan tidak terbatas pada penelitian, para scholars juga diharapkan untuk dapat memahami makna pengalaman religius yang dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk sejarah yang berbeda. Cara Yang Sakral ini memanifestasikan dirinya oleh Eliade disebut dengan terminology “Hierophany”. Kata ini berarti Yang kudus memanifestasikan diri di suatu tempat dan ini digunakan untuk menunjukkan kisah pewahyuan atau manifestasi dari Yang kudus. Gagasan ini dengan jelas menekankan aspek ketunggalan dari Yang Kudus itu. Yang Kudus bukan sesuatu yang berasal atau dibentul oleh manusia seperti mitos. Yang Kudus itulah yang memanifestasikan dirinya tanpa dipengaruhi pandangan manusia atau kesepakatan manusia itu sendiri. Akan tetapi, dari semua bangunan pemikiran Eliade ini, ada satu pikiran kritis terhadapnya yaitu dukungannya secara tidak langsung pada reduksi agama sebagai pengalaman individual semata. Memang bagi dia Yang Sakral itu memanifestasikan diri kepada manusia. Dan bagi dia, manusia yang mendapat anugerah itu adalah manusia yang tertentu atau yang ditentukan oleh Yang Sakral itu. Dalam hal ini, Eliade nampaknya gagal untuk menjawab apakah Yang Sakral bisa memanifestasikan dirinya kepada sekelompok orang sehingga mereka memiliki konsep yang sama tentang Yang Sakral? Kekurangan ini membuat orang dengan mudah mengklaim diri sebagai seorang religius tanpa memperdulikan bagaimana pandangan orang terhadapnya. Kecenderungan yang muncul dari fenomena ini adalah munculnya kesombongan spiritual. Dengan kata lain, Yang Sakral hanya pengalaman private. Legitimasi atas Privatisasi Agama. Pemikiran Mircea Eliade terhadap fenomena keagamaan telah memberikan dampak besar dalam perkembangan teori agama. Argumentasinya sangat mendasar karena berkaitan langsung dengan apa yang sering dialami oleh penganut agama. Hanya saja, pemikiran ini perlu dikembangkan lagi dalam kaitannya dengan perubahan zaman yang semakin meninggalkan agama sebagai suatu sarana manusia untuk berhubungan dengan Yang Sakral.


Agama dan budaya

David J.  Hesselgrave dan Edward Rommen menyebutkan kebudayaan sebagai pengetahuan bersama untuk menciptakan bentuk-bentuk perilaku, pola-pola komunikasi (bahasa), nilai-nilai, jenis-jenis alat yang khas bagi kebudayaan selanjutnya.  Dapat dikatakan bahwa budaya merupakan pabrik pengertian, dengan apa manusia menafsirkan pengalaman dan menuntun tindakan manusia lain. 
 Menurut S. Takdir Alisyahbana (196:207-8) berpendapat bahwa  kebudayaan adalah:
1.      Suatu keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari unsure-unsur yang berbeda-beda seperti ilmu pengetahuan,kepercayaan,seni,hokum,moral,adat istiadat dan segala kecakapan yang di peroleh manusia sebagai anggota masyarakat
2.      Warisan social atau tradisi.
3.      Cara atau aturan dan jalan hidup manusia.
4.      Penyesuain manusia terhadap alam sekitarnya dan cara menyelesaikan persoalan.
5.      Hasil kecerdasan manusia.
6.      Hasil pergaulan atau pergaulan manusia.
Memahami penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa Islam merupakan suatu agama yang bersumber dari Allah SWT yang ajaran-ajarannya diwahyukan kepada  Nabi Muhammad SAW , sedangkan Budaya merupakan keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang di hasilkan dari cipta, rasa dan karsa manusia.
  1. Bentuk – Bentuk Agama Dan Kebudayaan.
1.      Bentuk Agama
Agama ada yang bersifat primitif dan ada pula yang dianut oleh masyarakat yang telah meninggalkan fase keprimitifan. Agama-agama yang terdapat dalam masyarakat primitif ialah Dinamisme, Animisme, Monoteisme dll, adapun pengertiannya adalah sebagai berikut:

  1. Pengertian Agama Dinamisme ialan : Agama yang mengandung kepercayaan pada kekuatan gaib yang misterius. Dalam faham ini ada benda-benda tertentu yang mempunyai kekuatan gaib dan berpengaruh pada kehidupan manusia sehari – hari. Kekuatan gaib itu ada yang bersifat baik dan ada pula yang bersifat jahat. Dan dalam bahasa ilmiah kekuatan gaib itu disebut ‘mana’ dan dalam bahasa Indonesia ‘tuah atau sakti’.

  1. Pengertian Agama Animisme ialah : Agama yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa, mempunyai roh. Bagi masyarakat primitif roh masih tersusun dari materi yang halus sekali yang dekat menyerupai uap atau udara. Roh dari benda-benda tertentu adakalanya mempunyai pengaruh yang dasyat terhadap kehidupan manusia, Misalnya : Hutan yang lebat, pohon besar dan ber daun lebat, gua yang gelap dll.

  1. Pengertian Agama Monoteisme ialah : Adanya pengakuan yang hakiki bahwa Tuhan satu, Tuhan Maha Esa, Pencipta alam semesta dan seluruh isi kehidupan ini baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.


2.      Bentuk Kebudayaan
1)      Kebudayaan Persia
Dalam sejarah kebudayaan Persia, masyarakatnya banyak yang menyembah berbagai alam nyata, seperti langit, cahaya, udara, air dan api. Api dilambangkan sebagai Tuhan baik, sehingga mereka menyembah api yang selalu dinyalakan didalam rumah – rumah.

2)      Kebudayaan Romawi Timur
a.       Kerajaan Romawi didirikan pada tahun 753 M. Budaya Romawi pada umumnya beragama Nasrani. Dalam Kebudayaannya dikenal 3 muhzab yang termasyur yaitu : Mazhab Yaaqibah, yang bertebaran di Mesir, Habsyah Mazhab ini berkeyakinan bahwa Isa Almasih adalah Allah.
b.      Mazhab Nasathirah yang betebaran di Mesir, Irak, Persia
c.       Mazhab Mulkaniyah, Kedua Mazhab ini berkeyakinan bahwa dalam diri Al-Masih terdapat 2 tabiat yaitu :
a)      Tabiat ketuhanan.
b)      Tabiat kemanusiaan.

3)      Kebudayaan Islam
Sejalan dengan perkembangan dunia dan perubahan zaman, Ajaran – ajaran Islam pun kian marak dijadikan sebuah Budaya, yang akhirnya masyarakat sendiri sulit membandingkan antara Agama dengan Budaya.
Contohnya : Masalah busana muslim “Jilbab”, di zaman dahulu busana muslim atau jilbab adalah pakaian yang menutup aurat, pakaian longgar dan panjang, sedangkan zaman sekarang jilbab menjadi sebuah model atau gaya yang mana tidak lagi melihat pada tuntunan Islam.      
  
  1. Unsur-Unsur  Agama  Dan  Kebudayaan

  1. Unsur-Unsur Agama
Unsur-unsur penting yang terdapat dalam Agama ialah :

Ø  Unsur Kekuatan Gaib : Manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong. Oleh karena itu, manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik ini dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib itu sendiri.

Ø  Keyakinan Manusia : bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Dengan hilangnya hubungan baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan hilang pula.

Ø  Respons yang bersifat Emosionil dari manusia : Respons itu bisa mengambil bentuk perasaan takut, seperti yang terdapat dalam agama – agama primitif, atau perasaan cinta, seperti yang terdapat dalam agama – agama monoteisme. Selanjutnya respons mengambil bentuk penyembahan yang terdapat dalam agama primitif, atau pemujaan yang terdapat dalam agama – agama monoteisme. Lebih lanjut lagi respons itu mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang besangkutan.

Ø  Paham adanya yang kudus (saered) dan suci : dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab yang mengandung ajaran – ajaran agama bersangkutan dan dalam bentuk tempat – tempat tertentu.

  1. Unsur-Unsur Budaya
Adapun Unsur Kebudayaan yang bersifat universal yang dapat kita sebut sebagai isi pokok tiap kebudayaan di dunia ini, adalah sebagai berikut :

a)      Peralatan dan perlengkapan hidup manusia sehari – hari misalnya : pakaian, perubahan, alat rumah tangga, senjata dan sebagainya.
b)      Sistem mata pencaharian dan sistem ekonomi. Misalnya : Pertanian, peternakan, sitem produksi.
c)      Sistem kemasyarakatan, misalnya : kekerabatan, sistem perkawinan, sistem warisan.
d)     Bahasa sebagai media komunikasi, baik lisan maupun tertulis.
e)      Ilmu Pengetahuan
f)       Kesenian, misalnya : seni suara, seni rupa, seni gerak.
  1. Agama Budaya
Agama yang dibudayakan adalah ajaran suatu agama yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh penganutnya sehingga menghasilkan suatu karya/budaya tertentu yang mencerminkan ajaran agama yang dibudayakannya itu. Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa membudayakan agama berarti membumikan dan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Memandang agama bukan sebagai peraturan yang dibuat oleh Tuhan untuk menyenangkan Tuhan, melainkan agama itu sebagai kebutuhan manusia dan untuk kebaikan manusia. Adanya agama merupakan hakekat perwujudan Tuhan. Seperti dalam mengideologikan agama, pembudayaan suatu agama dapat mengangkat citra agama apabila pembudayaan itu dilakukan dengan tepat dan penuh tanggung jawab sehingga mampu mencer­minkan agamanya. Sebaliknya dapat menurunkan nilai agama apabila dilakukan dengan tidak bertanggung jawab.

  1. Hubungan Antara Agama dan Budaya
Kebudayaan dikenal karena adanya hasil-hasil atau unsur-unsurnya. Unsur-unsur kebudayaan terus menerus bertambah seiring dengan perkembangan hidup dan kehidupan. Manusia mengembangkan kebudayaan; kebudayaan berkembang karena manusia. Manusia disebut makhluk yang berbudaya, jika ia mampu hidup dalam atau sesuai budayanya. Sebagian makhluk berbudaya, bukan saja bermakna mempertahankan nilai-nilai budaya masa lalu atau warisan nenek moyangnya; melainkan termasuk mengembangkan (hasil-hasil) kebudayaan.
Di samping kerangka besar kebudayaan, manusia pada komunitasnya, dalam interaksinya mempunyai norma, nilai, serta kebiasaan turun temurun yang disebut tradisi. Tradisi biasanya dipertahankan apa adanya; namun kadangkala mengalami sedikit modifikasi akibat pengaruh luar ke dalam komunitas yang menjalankan tradisi tersebut. Misalnya pengaruh agama-agama ke dalam komunitas budaya (dan tradisi) tertentu; banyak unsur-unsur kebudayaan (misalnya puisi-puisi, bahasa, nyanyian, tarian, seni lukis dan ukir) di isi formula keagamaan sehingga menghasilkan paduan atau sinkretis antara agama dan kebudayaan.
Kebudayaan dan berbudaya, sesuai dengan pengertiannya, tidak pernah berubah; yang mengalami perubahan dan perkembangan adalah hasil-hasil atau unsur-unsur kebudayaan. Namun, ada kecenderungan dalam masyarakat yang memahami bahwa hasil-hasil dan unsur-unsur budaya dapat berdampak pada perubahan kebudayaan. Perbedaan antara agama dan budaya tersebut menghasilkan hubungan antara iman-agama dan kebudayaan. Sehingga memunculkan hubungan (bukan hubungan yang saling mengisi dan membangun) antara agama dan  budaya. Akibatnya, ada beberapa sikap hubungan antara Agama dan Kebudayaan, yaitu:
1.      Sikap Radikal: Agama menentang Kebudayaan. Ini merupakan sikap radikal dan ekslusif, menekankan pertantangan antara Agama dan Kebudayaan. Menurut pandangan ini, semua sikon masyarakat berlawanan dengan keinginan dan kehendak Agama. Oleh sebab itu, manusia harus memilih Agama  atau Kebudayaan, karena seseorang tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Dengan demikian, semua praktek dalam unsur-unsur kebudayaan harus ditolak ketika menjadi umat beragama.
2.      Sikap Akomodasi: Agama Milik Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan keselarasan antara Agama dan kebudayaan.
3.      Sikap Perpaduan: Agama di atas Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan adanya suatu keterikatan antara Agama dan kebudayaan. Hidup dan kehidupan manusia harus terarah pada tujuan ilahi dan insani; manusia harus mempunyai dua tujuan sekaligus.
4.      Sikap Pambaharuan: Agama Memperbaharui Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan bahwa Agama harus memperbaharui masyarakat dan segala sesuatu yang bertalian di dalamnya.
Hal itu bukan bermakna memperbaiki dan membuat pengertian kebudayaan yang baru; melainkan memperbaharui hasil kebudayaan. Oleh sebab itu, jika umat beragama mau mempraktekkan unsur-unsur budaya, maka perlu memperbaikinya agar tidak bertantangan ajaran-ajaran Agama. Karena perkembangan dan kemajuan masyarakat, maka setiap saat muncul hasil-hasil kebudayaan yang baru. Oleh sebab itu, upaya pembaharuan kebudayaan harus terus menerus. Dalam arti, jika masyarakat lokal mendapat pengaruh hasil kebudayaan dari luar komunitasnya, maka mereka wajib melakukan pembaharuan agar dapat diterima, cocok, dan tepat ketika mengfungsikan atau menggunakannya. Karena adanya aneka ragam bentuk hubungan Agama dan Kebudayaan tersebut, maka solusi terbaik adalah perlu pertimbangan – pengambilan keputusan etis-teologis (sesuai ajaran agama). Dan untuk mencapai hal tersebut tidak mudah.
Antara Agama dan budaya keduanya sama-sama melekat pada diri seseorang beragama dan didalamnya sama-sama terdapat keterlibatan akal fikiran mereka. Dari aspek keyakinanmaupun aspek ibadah formal, praktik agama akan selalu bersamaan dan bahkan berinteraksi dengan budaya . kebudayaan sangat berperan penting didalam terbentuknya sebuah praktik keagamaan bagi seseorang atau masyarakat. Tidak hanya melahirkan bermacam-macam agama , kebudayaan inilahyang juga mempunyai andil besar bagi terbentuknya aneka ragam praktik beragama dalaam satu paying agama yang sama. Dalam kenyataan dua atau lebih orang dengan agama yang sama belum tentu mempunyai praktek atau cara pengalaman agama , khususnya ritual yang sama. Keragaman cara beribadah dalam komunitas agama ini mudah kita dapati  dalam setiap masyarakat, denganterbentuknya macam-macam kelompok agama.
                  Contoh Hubungan agama dan kebudayaan di dalam kehidupan sehari-hari
1.      Ketika seseorang berpindah agama cara berfikir dan cara hidupnya dapat berubah secara signifikan. dapat dilihat seseorang yang beragama Kristen pindah menjadi agama islam maka pandangan hidupnya akan berubah pula, missal: cara pandang mareka dalam berpakaian ketika mereka beragama Kristen cara berpakain mereka kurang menutup aurat tetapi ketika mereka telah beragam islam cara berpakaian mereka menutup aurat.
2.      Ketika ibadah hari raya idul fitri, hari raya ini dalam praktiknya tidak lagi menjadi perayaan “khas” penganut agama islam tetapi sudah lebih merupakan tradisi bagi segenap masyarakat Indonesia. Saling maaf memaafkan yang dulu tidak pernah terjadi di negeri-negeri timur tengah tetapi masyarakat Indonesia justru di jadikan momemtum untuk membangun kembali tali persaudaraan seta kesetiakawanan lintas etnoreligius.
Budaya Ngaben yang merupakan upacara kematian bagi umat hindu Bali yang

Islam di Indonesia
 Secara intensif, penyebaran agama Islam masuk ke Nusantara baru dimulai pada abad ke-13. Akan tetapi, agama Islam sendiri sebenarnya telah masuk ke Nusantara sejak abad pertama Hijrah. Proses penyebaran Islam pun sama sekali tidak dilatarbelakangi oleh adanya permusuhan dengan pihak manapun, melainkan didorong oleh semangat dakwah yang bersumber dari Alquran dan tuntunan Nabi Muhammad SAW. Tersebar dan berkembangnya Islam di Nusantara pun didasari sebagai arus balik sejarah, atas telah surutnya kerajaan Sriwijaya, serta melemahnya kerajaan Majapahit menuju keruntuhan (Sjamsudduha, 1987: 165).
Sementara menurut Haidar (2009), pada sekitar abad ke 7 dan 8, disaat Kerajaan Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya, selat Malaka sudah mulai dilalui oleh pedagang-pedagang muslim dalam pelayarannya ke negeri-negeri di Asia Tenggara dan Asia Timur. Berdasarkan berita Cina zaman Tang, pada abad tersebut diduga bahwa masyarakat muslim telah ada, baik di Kanfu maupun di Sumatera. Sejalan dengan penjelasan di atas, di Medan pada tahun 1963, dan di Kuala Simpang Aceh pada tahun 1980, telah dilaksanakan seminar tentang masuknya Islam ke Nusantara. Kedua seminar tersebut sepakat menyatakan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada abad pertama hijriah langsung dari Arab.
Dalam hal ini, terdapat beberapa teori tentang kedatangan Islam ke Nusantara, terutama berkenaan dengan waktu datangnya, negeri asalnya, dan pembawanya. Sarjana Belanda kebanyakan berpendapat bahwa datangnya Islam ke nusantara berasal dari India, di antara sarjana tersebut adalah Pijnappel dari Universitas Leiden, Moquette, Snouck Hurgronje. Menurut Hurgronje abad ke-12 adalah periode paling mungkin dari permulaan penyebaran Islam di Nusantara (Haidar, 2009).
Selain dari teori India, berkembang juga teori Arab yang berpendapat bahwa Islam di Nusantara berasal dari Arab. Teori ini juga didukung oleh sejumlah sarjana di antaranya Crawfurd, Niemann, dan yang paling gigih mempertahankannya adalah Naquib Al Attas. Menurut beberapa sumber sejarah dijelaskan bahwa Selat Malaka sebagai rute perdagangan yang telah lama dikenal, menjadi salah satu jalur pedagangan dari dunia Timur ke Barat, di samping melalui jalan darat.
Dari sisi yang lain, masuknya agama Islam ke wilayah Nusantara, menjadi sebuah risalah hidup bagi para pengemban dakwah, yang memiliki kesadaran penuh atas amanah Allah untuk menjadi penerang kepada setiap muslim. Dan ini sekaligus menjadi dasar awal penyebaran dan perkembangan risalah Islam di wilayah Nusantara.
Masuknya Islam ke Nusantara pun tidak bersamaan, ada daerah-daerah yang sejak dini telah dimasuki oleh Islam, terdapat pula yang terbelakang dimasuki Islam. Berkenaan dengan ini, telah disepakati bersama oleh para sejarawan Islam, bahwa daerah pertama kali yang dimasuki Islam adalah Sumatera.
Proses terbentuknya masyarakat muslim di suatu tempat pun harus melalui proses yang panjang, yang dimulai dari terbentuknya pribadi-pribadi muslim sebagai hasil dari upaya para da’I. Dalam perkembangannya, tercatatlah sejumlah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara telah terbentuk, misalnya seperti Kerajaan Perlak, Pasai, Aceh Darussalam, Banten, Demak, Mataram, dan lain sebagainya (Haidar, 2009).
Sementara, terkait dengan pihak yang berperan aktif di dalamnya, menurut Sjamsudduha (1987: 165), para penyebar Islam di Nusantara pada awal sejarahnya adalah berasal dari orang-orang Arab, sekaligus masyarakat Indonesia sendiri, yang pada umumnya mereka berprofesi sebagai seorang pedagang. Sehingga, tidak jarang mereka dikenal sebagai mubaligh-pedagang atau pedagang-mubaligh.
Lebih lanjut, Sjamsudduha mengatakan bahwa, dalam proses dakwahnya, mereka lebih memanfaatkan kecerdasan dan peradaban yang lebih tinggi untuk kepentingan dakwah. Di samping itu, mereka juga lebih mengutamakan hasil perdagangannya sebagai modal dakwah, daripada untuk memperkaya diri sendiri.
Di luar dari itu, Arsyad (2012: 217), mengatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara, memiliki beberapa strategi dan kesiapan tersendiri. Pertama, Islam yang datang harus dengan mempertimbangkan tradisi. Dimana, dalam hal ini, tradisi yang berseberangan tidak dilawan, tetapi diapresiasi yang kemudian dijadikan sarana pengembangan Islam. Kedua, Islam yang datang tidak boleh mengusik agama atau kepercayaan apapun, sehingga masyarakat tetap bisa hidup saling berdampingan. Ketiga, Islam yang datang harus mendinamisir tradisi yang sudah usang, sehingga Islam dapat diterima sebagai agama. Dan keempat, Islam  menjadi agama yang mentradisi, sehingga orang tidak bisa meninggalkan Islam dalam kehidupan mereka.
Dengan penerapan beberapa hal diatas, maka dapat dipastikan agama Islam bisa diterima oleh seluruh masyarakat Nusantara. Meskipun tingkat penerimaan masing-masing objek berbeda. Bagi mereka yang memperoleh pengetahuan keagamaan yang memadai, kemungkinan akan menjadi Islam santri yang taat. Sementara bagi mereka yang kurang memperoleh pengetahuan keagamaan, seringkali akan disebut dengan Islam abangan, yang mereka secara ritual tidak taat, tetapi tetap kukuh memegang tradisi, yang semuanya telah bernuansa Islami.

A.    Tipologi Hubungan Islam dan Budaya

Menurut Surjo dalam (Mangun, 2008: 649), hubungan antara agama Islam dan budaya lokal di Nusantara dapat dilihat dari beberapa varian, diantaranya yaitu pribumisasi, negosiasi dan konflik.
Pribumisasi menurut Abdullah, diartikan sebagai penyesuaian antara Islam dengan tradisi lokal wilayah penyebarannya. Dalam pribumisasi Islam, tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran normative, yang berasal dari Tuhan diakomodasikan kedalam kebudayaan asli manusia, tanpa harus menghilangkan identitas diri masing-masing (Mangun, 2008: 653).
Pribumisasi juga bukan upaya yang memicu timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru untuk menjaga budaya agar tidak hilang. Karena itu, pribumisasi Islam adalah kebutuhan, bukan untuk menghindarkan polarisasi antara agama dan budaya, karena hal itu memang tidak terhindarkan.
Peranan pribumisasi Islam sebenarnya adalah untuk menjadikan agama dan budaya agar tidak saling mengalahkan, melainkan terwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuk yang outentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara keduanya. Dengan demikian, tidak akan ada lagi pertentangan agama dan budaya (Mangun, 2008: 653).
Lebih lanjut, Mangun menjelaskan, bahwa konsep  pribumisasi Islam ini dalam semua bentuknya dimaksudkan untuk memberikan peluang bagi keanekaragaman interpretasi dalam praktek kehidupan beragama di setiap wilayah yang berbeda-beda ruang dan kondisi. Lebih dari itu, pribumisasi Islam juga bukanlah "Jawanisasi" atau sinkretisme, karena ia hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki masyarakat local dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Ia juga bukan upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi justru membantunya supaya dapat menampung kebutuhan-kebutuban dari budaya, dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh berbagai pemahaman.
Varian kedua yaitu negosiasi. Proses ini terjadi ketika agama (Islam), dengan segenap perangkat doktrin yang dimiliki, berdialektika dengan berbagai budaya yang ada dalam sebuah masyarakat, maka disana ada kebutuhan untuk saling sama-sama mengubah tradisi yang dimiliki. Pada wilayah itulah sebetulnya berlangsung sebuah proses negosiasi yang kadangkala pada batas-batas tertentu, berujung pada perubahan bentuk masing-masing tradisi (Mangun, 2008: 654).
Varian yang ketiga yaitu konflik. Pola ini mengutamakan adanya sikap yang saling bertahan antara agama dan budaya dalam hubungan diantara keduanya. Dari sini maka akan terwujud pola yang relative "menyimpang", yang dilakukan satu diantara keduanya (Mangun, 2008: 654).

B.     Bentuk Interaksi Islam dan Budaya Lokal di Nusantara

Secara sosio-historis, pertemuan yang terjadi antara agama, terutama Islam dengan budaya-budaya lokal Nusantara, itu sudah cukup lama mengakar dalam kehidupan masyarakatnya. Pertemuan antara Islam dengan budaya local Nusantara, ataupun antar ajaran agama yang lainnya, telah menghasilkan suatu bentuk pengadopsian,  pembuangan, atau bahkan akulturisasi. Sebagai contoh, Sunan Kalijaga memadukan Islam dengan budaya Jawa (pewayangan) sebagai metode dakwahnya. Contoh lainnya yaitu kaum tradisional yang mengadopsi konsep Hindu dalam model pengasramaan santri (Amirullah, 2015: 43).
Menengok kembali kebelakang, sebelum kedatangan Islam di Nusantara, agama Hindu, Budha dan kepercayaan lain seperti animisme dan dinamisme, telah berkembang terlebih dahulu. Oleh karena itu, dengan datangnya Islam, terjadi pertumpangan antara Islam di satu pihak, dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya di pihak lain. Akibatnya muncul dua kelompok dalam menerima Islam.
Dalam hal ini, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dewes, telah meneliti ulang dua buah manuskrip lama yang berasal pada abad ke-16 atau ke-15. Pertama, yang menerima Islam secara total dengan tanpa mengingat pada kepercayaan-kepercayaan lama. Kedua, mereka yang menerima Islam, tetapi belum dapat melupakan ajaran-ajaran lama.
Kedua manuskrip tersebut menunjukkan tentang Islam ortodok yang dapat diterima oleh semua pihak di kalangan umat Islam. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya, masyarakat secara sadar maupun tidak telah mencampuradukkan antara kebudayaan dan ajaran-ajaran Islam dengan kepercayaan-kepercayaan lama.
Secara khusus, bentuk interaksi yang terbentuk antara agama Islam dengan budaya Nusantara ini dapat terwujud sebagai berikut:

1.      Alkulturasi Islam dengan Budaya di Nusantara

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam (Arsyad, 2012: 213), akulturasi adalah  percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling memengaruhi. Alkulturaasi juga dapat diartikan sebagai proses masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat, sebagian menyerap secara selektif, baik sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu, dan sebagian lagi tanpa selektifitas. Juga dapat diartikan sebagai, proses perpaduan dua atau lebih kebudayaan yang tidak menghilangkan unsure budaya asli.
Dari pengertian akulturasi ini, maka dalam konteks masuknya Islam ke Nusantara, telah terjadi interaksi budaya yang saling  memengaruhi antara budaya lokal dengan Islam. Sehingga, dalam proses interaksinya, kebudayaan setempat yang sifat tradisionalnya masih kuat, akan muncul perpaduan budaya asli (lokal) Indonesia, dengan budaya Islam. Perpaduan inilah yang kemudian disebut sebagai akulturasi kebudayaan.
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia, dan itu selama ini telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Adapun contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu yaitu bangunan pada Masjid Demak. Ranggon atau atap yang berlapis pada Masjid Demak, menurut sejarahnya diambil dari konsep masa pra Islam (Hindu-Budha), yang itu terdiri dari sembilan susun. Namun, dalam perkembangannya, Sunan Kalijaga, yang merupakan salah satu tokoh penting dalam dakwah Islam, memotongnya menjadi tiga susun saja. Hal ini secara khusus melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim, yaitu iman, Islam dan ihsan (Kuntowijoyo, 1991: 229).
Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing dari Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Dengan fakta ini, sekaligus menjadi bukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam, asalkan tidak menyalahi tauhid yang diajarkan (Asnawan, 2011: 91).
Bukti dari proses persenyawaan antara Islam dan budaya local lainnya dapat ditemukan dalam bentuk karya-karya yang muncul, seperti Babad, hikayat, lontara, sastra suluk, mitologi. Sementara bentuk percampurannya dalam bentuk budaya, misalnya yaitu budaya  selamatan, Maulid Nabi, Yasinan, Sekaten, dan yang lainnya.
Dan jika dilihat dari sisi yang lain, kebudayaan populer di Indonesia terlihat banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam. Dengan demikian, seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer di Indonesia.

2.      Sinkretisme Islam dengan Budaya di Nusantara

Sinkretisme menurut Mangun (2008: 653), adalah suatu bentuk usaha yang memadukan teologi atau system kepercayaan lama tentang sekian banyak hal yang diyakini sebagai kekuatan ghaib, beserta dimensi eskatologisnya dengan Islam, yang kemudian membentuk panteisme. Panteisme adalah pandangan bahwa Allah adalah segalanya dan semua orang, dan segalanya dan semua orang adalah Allah.
Sinkretisme juga dapat diartikan sebagai proses perpaduan antara faham-faham atau aliran-aliran agama atau kepercayaan. Atau dalap diartikan sebagai percampiran dari berbagai tradisi agama yang berbeda-beda.
Islam yang berkembang di Nusantara mula-mula adalah Islam Shufi (mistik), yang salah satu ciri khasnya adalah sifatnya yang toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat, dibiarkannya tetap eksis sebagaimana semula, perbedaannya hanya kemudian diwarnai dan diisi dengan ajaran-ajaran Islam. Dengan demikian, proses Islamisasi di Indonesia lebih bersifat kontinuitas apa yang sudah ada, bukannya justru melakukan perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal (Siti, 2005: 46).
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Nusantara, dapat dijumpai beberapa bentuk tulisan, tradisi, dan kepercayaan, telah banyak yang tercampur di dalamnya antara aspek-aspek dari ajaran Islam dengan unsur-unsur kepercayaan lama. Upacara-upacara atau tradisi-tradisi masyarakat, baik yang memiliki keterkaitan dengan ajaran Islam, maupun yang asli budaya adat, tidak dihilangkan oleh sebagian muballigh ketika melakukan proses Islamisasi, tetapi justru dibiarkan tetap berlanjut. Meskipun tidak sedikit, kelompok da’I yang secara tegas memisahkan antara adat dengan ajaran Islam.
Fakta lainnya terkait hal yang sama, menunjukkan bahwa sebelum Islam datang, di Nusantara telah berdiri kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan Budha, seperti kerajaan Sriwijaya dan Majapahit (Arsyad, 2012: 213). Selama masa pemerintahan kedua kerajaan itu, tentu masyarakat Indonesia telah menyerap segala aspek, khususnya dalam keyakinan yang dicontohkan.
Kepercayaan-kepercayaan seperti agama Hindu, Budha, maupun dinamisme dan animisme itulah yang dalam proses perkembangan Islam, telah erinterelasi dengan kepercayaan-kepercayaan dalam Islam. Akibatnya, pada beberapa aspek, prinsip ajaran tauhid Islam telah menyatu dengan berbagai unsur keyakinan Hindu-Budha, maupun kepercayaan primitif.
Hal itu terbukti ketika proses Islamisasi yang dimulai sejak  abad ke XIII, dimana unsur agama Islam telah sangat memegang peranan penting dalam membangun jaringan komunikasi antara kerajaan-kerajaan pesisir dengan pedalaman, unsur yang bercorak Hindu-Budha masih tetap ada. Dalam segi pemahaman akidah Islam, mereka tidak serta merta yakin dan melenyapkan alam pikiran filsafat lama, seperti Hindu, Budha, animism, dinamisme, maupun kepercayaan lainnya. Dan dari sinilah muncul kecenderungan sinkritisme.
Dengan sisa-sisa kepercayaan seperti animisme dan dinamisme, dalam hal mengesakan Allah, tauhid Islam seringkali menjadi tidak murni oleh karena telah tercampur dengan penuhanan terhadap benda-benda yang diangggap keramat, baik benda mati maupun benda hidup. Bahkan, seringkali manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan tertentu dipandang sebagai suci, keramat dan bertuah. Begitu pula dengan kuburan-kuburan atau makam, pada hari-hari tertentu dipandang memiliki barokah atau juga bisa membawa kesialan (Siti, 2005: 49).
Bacaan doa-doa tertentu yang juga seringkali berubah menjadi mantra, ayat-ayat suci Alquran atau huruf-huruf Arab menjadi jimat yang diyakini memiliki nilai yang sangat berarti. Sehingga makna Alquran yang sebenarnya sebagai pedoman hidup manusia dalam bertindak dan berperilaku, justru berubah menjadi sesuatu yang diyakini sebagai suatu benda yang dikramatkan, dalam hal ini mengandung unsure mistis.
Sikap toleran dan akomodatif terhadap kepercayaan dan budaya setempat, di satu sisi memang dianggap membawa dampak negatif yaitu sinkretisasi dan pencampuradukkan antara Islam dan budaya di satu sisi, dan antara Islam dengan kepercayaan-kepercayaan lama di pihak lain. Atas fenomena itu, maka seringkali sulit dibedakan mana yang benar-benar ajaran Islam dan mana pula yang tercampur tradisi (Siti, 2005: 47).
Islam dan budaya jawa

A.    CIRI – CIRI  BUDAYA DAN MASYARAKAT JAWA
1.      Budaya Jawa
Kebudayaan suatu daerah merupakan ciri dari daerah tersebut, begitu juga kebudayaan Jawa merupakan ciri dari orang – orang Jawa. Maka dari itu kita sebagai orang Jawa harus mempertahankanbudaya tersebut.
Ciri – ciri budaya Jawa adalah bersifat :
a.       Religius
b.      Dogmatis (bersifat mengikuti suatu ajaran tanpa kritik sama sekali)
c.       Toleran(menghargai)
d.      Akomodatif (bersifat dapat menyesuaikan, dll)

2.      Masyarakat Jawa
Masyarakat jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi, maupun agama. Hal ini dapat dilihat pada ciri-ciri masyarakat jawa secara kekerabatan. Sistem hidup kekeluargaan di jawa tergambar dalam kekerabatan masyarakat jawa.
Di jawa, anak-anak sering dibesarkan oleh saudara-saudara, orang tua mereka, bahkan oleh tatangga, dan anak acap kali di angkat. Hukum adat menuntut setiap orang lelaki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan masih dituntut untuk bekerja membantu karabat lain dalam hal-hal tertentu seperti mengerjakan tanah pertanian, membuat rumah, memperbaiki jalan desa, membersihkan lingkungan pekuburan dan sebagainya.
Ciri-ciri utama atau sifat dasar tersebut telah melahirkan corak, sifat dan kecenderungan yang khas bagi orang Jawa yang diantaranya adalah:
1.      Percaya kepada Tuhan yang Maha Esa, dengan segala sifat, kekuasaan dan kebesaran-Nya.
2.      Bercorak identitas, percaya kepada sesuatu yang bersifat imateril (bukan kebendaan) dan hal-hal yang bersifat adikodrati (supranatural=batin) serta cenderung ke arah mistik.
3.      Lebih mengutamakan cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia.
4.      Percaya kepada takdir dan cenderung bersikap pasrah.
5.      Bersifat konvergen (menyatu), universal dan terbuka.
6.      Cenderung pada simbolisme.
7.      Cenderung pada gotong-royong, guyub, rukun dan damai.
8.      Cenderung tidak fanatik.
9.      Luwes dan lentur.
10.  Mengutamakan rasa ketimbang rasio.
11.  Kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi.


Ungkapan Jawa yang mengandung nilai pedagogis/moral antara lain:
1.      Aja Dumeh
Aja dumeh ungkapan sederhana tetapi mengandung arti menadalam . bila diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia artinya jangan sok. Pengertian aja dumeh adalah suatu sikap seseorang yang mendorong untuk berbuat sewenang wenangnya menurut kehendak sendiri, sehingga lupa diri.
2.      Tepa Selira
Tepa selira secara sederhana dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia tenggang rasa. Tepa selira merupakan perilaku seseorang yang mampu memahami perasaan orang lain. Dengan demikian orang yang mempunyai tepa selira tidak akan bertindak sewenang-wenang jika ia menjadi pemimpin. Kalau dicubit merasa sakit, ya, jangan mencubit. Tepa selira artinya mampu memahami perasaan orang lain (empati).
3.      Mawas Diri
Mawas diri adalah menandakan penelitian dan memeriksa di dalam hati nurani, apakah tindakan yang dilakukan sudah benar sesuai dengan noram-norma dan tata nilai ataukah belum. Mawas diri identik dengan intropeksi.
4.      Budi Luhur
Bagi masyarakat Jawa dalam mendidik putra-putrinya semenjak mereka kecil sudah dididik menimbang baik dan buruknya suatu perbuatan.
5.      Sikap utama
Untuk mendukung budi pekerti luhur, masyarakat jawa perlu memiliki sikap utama yaitu suatu sikap yang selalu mengarah hal-hal yang baik atau utama. Sikap utama telah diuraikan panjang lebar pada bagian depan buku yang dikandung dalam serat wulang reh karangan sri susuhunan pakubuwono IV dalam syair-syair tembang secara singkat seperti dalam syair dhandhanggula, kinanthi, dan sebagainya.
6.      Sikap Gugontuhon
Gugontuhon adalah suatu sikap orang Jawa yang percaya adanya takhayul yang ditandai dengan pemikiran yang kurang logis. Gugontuhon berasal dari kata gugu artinya taat dan setia terhadap nasihat orangtua.
7.      Sikap Wani Tombok
Wani tombok berarti menanggung rugi demi harga diri. Sikap wani tembok bagi masyarakat Jawa adalah sikap berani menanggung risiko atau rugi.
8.      Mendhem Jero Mikul Dhuwur
Mendhem jero artinya menutupi lubang sedalam-dalamnya dengan tanah yang telah digali, mikul dhuwur artinya mikul= memikul; dhuwur= atas. Jadi arti harfiahnya yaitu menutup lubang sampai sedalam-dalamnya dan memikul sampai atas. Maksud ungkapan di atas adalah kita sebagai anak atau generasi penerus harus melenyapkan keburukan, kejelekan atau kesalahan orangtua apalagi kalau orangtua kita sudah meninggal dunia.
Sifat Gemi, Nastiti dan Ngati-ati
a.       Gemi artinya pandai berhemat, nastiti artinya cermat dan ngati-ati artinya selalu berhati-hati.
b.      Jer Basuki Mawa Beya
c.       Hakikat dari ungkapan tersebut adalah segala sesuatu yang kita cita-citakan harus disertai dengan usaha sungguh-sungguh.
d.      Alon-alon Waton Kelakon
e.       Alon-alon waton kelakon artinya meskipun perlahan-lahan dalm melaksanakan sesuatu, tetapi sudah ada kepastian bahwa apa yang kita tuju akan tercapai.
f.       Ajining Dhiri Saka Obahing Lathi
g.      Arti dari ungkapan tersebut adalah harga diri seseorang tergantung dari apa yang dikatakan. Maksudnya tidak asal menggerakn bibir saja (obahing lathi) asal omong saja, tetapi apa yang diucapkan perlu dipertimbangkan baik-baik.

h.      Sluman, Slumun, Slamet (3S)
i.        Ungkapan itu adalah bagaimana usah kita di manapun, kapan pun, dan dalam keadaan apa pun yang penting adalah dapat selamat.
j.        Tujuan mempelajari Islam dan Kebudayaan Jawa

B.     SINKRETISME BUDAYA ISLAM JAWA
Secara etimoligis, sinkretisme berasal dari kata syin dan kretizoen atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal yang agak berbeda dan bertentangan. Menurut Sumanto Al-Qurtubi, proses sinkretisme menjadi tak terelakkan ketika terjadi perjumpaan dua kebudayaan atau lebih.
Kuncaraningrat membagi mayrakat Jawa menjadi dua, yaitu agama Islam Jawan dan agama santri. Yang pertama kurang taat kepada syariat dan bersikap sinkretis yang menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu dan Islam. sedangkan yang kedua lebih taat dalam menjalankan ajaran agama Islam dan bersifat puritan.
Praktek-Praktek Sinkretisme Budaya Islam Jawa
a.      Penggabungan antara Dua Agama/Aliran atau Lebih
Menggabungkan dua agama atau lebih dimaksudkan untuk membentuk suatu aliran baru. Biasanya merupakan penggabungan antara kepercayaan(Lokal Jawa) dengan Agama Islam dan Agama lainnya.
Sebagai contoh dari langkah ini adalah, ajaran Ilmu Sejati diasaskan pada kesucian yang dihimpun dari ajaran Islam, Kristen dan Budha.
b.      Bidang Ritual
1.      Upacara Midodareni
Sebelum Islam datang masyarakat Jawa sudah memiliki ritual-ritual sendiri. Seperti slametan, kelahiran, kematian, membangun/pindah rumah, menanam/memanen padi dan lain sebagainya.  Ketika islam datang ritual tersebut masih dilakukan hanya isinya diubah dengan unsur-unsur dari Islam. akibatnya terjadi Islamisasi Jawaisme (Keyakinan dan budaya Jawa)
Upacara Midodareni misalnya, adalah suatu ritual yang dilangsungkan pada malam hari, menjelang hari pernikahan. Hal ini dilakukan keluarga pengantin untuk mendekati bidadari dan roh halus supaya melindungi kedua calon pengantin dari mara bahaya. Dikalangan muslim yang taat beragama ritual ini diisi dengan pembacaan barzanji, kalimat toyyibah dan tahlil.
2.      Upacara Barokahan dan Sepasaran
Jika pada masyarakat Islam ketika bayi lahir maka akan diadakan aqiqahan tujuh hari setelahnya. Satu kambing untuk bayi perempuan dan dua kambing untuk bayi laki-laki. Namun dalam masyrakat muslim Jawa tidak melaksanakan perintah ini. sebagai gantinya mereka mengadakan upacara Barokahan (diadakan setelah bayi lahir) dan sepasaran (ketika bayi berusia lima hari) dengan harapan dan doa.
3.      Sungkeman
Menggabungkan Islam dengan kemasan budaya Jawa. Berbakti kepada orang tua adalah hukumnya Wajid. Dalam melaksanakan syariat ini masyarakat jawa biasanya menggunakan media Sungkem.
4.      Neloni, Mitoni atau Tingkeban
Adalah upacara ritual khas Jawa dari proses kehamilan. Neloni, tiga bulanaan usia kehamilan. Mitoni, tujuh bulanan. Pada masyarakat Jawa kehamilan adalah salah satu proses penting dalam kehidupan manusia. Maka proses itu tak luput dari ritual untuk ucapan syukur pada dewa-dewa. Dan ketika Islam datang ritual tersebut mendapat tambahan unsur Islam.
c.       Pada Aspek Kepercayaan
Fondasi Islam telah menyatu dengan berbagai unsur keyakinan Hindu-Budha maupun kepercayaan primitif. Sebutan Allah dengan berbagai nama telah terhimpun dalam asma’al hunsa telah berubah menjadi Gusti Allah, Gusti Kang Murbeng Dumadi (Al-Khaliq), Ingkang Maha Kuwaos (al-Qadir), Ingkang Maha Esa (al-Ahad), Ingkang Maha Suci dan lain sebagainya.
Nama-nama itu tercampur dengan nama dari agama lain hingga muncul sebutan Hyang Maha Agung (Allahu Akbar), Hyang Widi, Hyang Jagad Nata (Allah rabb al-alamin) atau Hyang Maha Luhur (Allah Ta’ala). Kata Hyang berarti Tuhan atau lebih tepatnya dewa.



d.      Dalam Doa dan Mantera
Salah satu jasa Sunan Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) dalam menyebarkan Islam di Jawa adalah mengganti nama-nama Dewa yang terdapat dalam mantera-mantera dan doa menjadi nama-nama Nabi, Malaikat, dan tokoh-tokoh terkenal di dalam Islam. Hal ini ditujukan agar masyarakat berpaling dari memuja dewa dengan menggantinya.
Tujuan mempelajari Islam dan kebudayaan Jawa diantaranya:
1.      Memotivasi masyarakat untuk menumbuhkan rasa kesadaran kebudayaan yang mencakup suatu sikap perlunya memelihara budaya
2.      Spiritualisme, mendorong masyarakat untuk mengimbangi derasnya arus konsumerisme budaya tersebut  dalam era globalisasi melalui peningkatan pendidikan dan keimanan.
3.      Perlunya peran seluruh elemen masyarakat termasuk pemerintah untuk membantu masyarakat melalui pemberian penghargaan karya seni, mendorong agar masyarakat yakin tetap berpedoman pada kebudayaan Jawa sehingga dapat berperilaku sebagaimana orang Jawa (nJawani) dan mencari jalan bagaimana meningkatkan penggunaan bahasa Jawa terutama Kromo inggil.
4.      Untuk menghindari gegar budaya yang berkonsekuensi adanya pertentangan yang disebabkan karena adanya kesalahpahaman terhadap kombinasi antara Islam dan kebudayaan Jawa.



Agama dan media

Kata media berasal dari bahasa Latin, median, yang merupakan bentuk jamak dari medium secara etimologi yang berarti alat perantara (Asmuni Syukir, 1986 : 17) Wilbur Schramm (1977) mendefinisikan media sebagai teknologi informasi yang dapat digunakan dalam pengajaran. Secara lebih spesifik, yang dimaksud dengan media adalah alat-alat fisik yang menjelaskan isi pesan atau pengajaran, seperti buku, film, video, kaset, slide, dan sebagainya.
Secara umum dipahami bahwa istilah ‘media’ mencakup sarana komunikasi seperti pers, media penyiaran (broadcasting) dan sinema. Namun, terdapat rentang media yang luas mencakup berbagai jenis hiburan (entertainment) dan informasi untuk audiens yang besar-majalah atau industri musik. Istilah ‘media’ berlaku bagi produk-produk informasi dan hiburan dari industri-industri media, begitu juga contoh-contoh telekomunikasi yang membantu membawakan produk-produk tersebut kepada kita. Terdapat berbagai ide tentang apakah sejarah media itu dan bagaimana mendekatinya. Untuk memahami media (dan perkembangannya), kita perlu menggunakaan kata-kata kunci dan memahami bagaimana mereka berkaitan dengan isu-isu tentang pengaruh dan konstruksi media.
Terdapat berbagai pendekatan kritis terhadap kajian media dalam perkembangan kritik media. Pendekatan-pendekatan ini secara bervariasi memberikan tekanan kepada pemahaman terhadap bisnis dan produsen media, kepada teks-teks media dan konstruksinya, dan kepada para audiens media dan konteks social.
Dalam perkembangan studi media, kritik telah beranjak dari mempercayai bahwa media melakukan pelbagai hal kepada orang-orang, ke mengamati apa yang dilakukan orang-orang dengan media, dan pada materi media yang sesungguhnya. Minat terhadap efek-efek media telah menjadi faktor yang konstan ketika studi tentang media mengalami kemajuan. Hal ini penting dalam kritik-kritik sosiologi terhadap media.
Media dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Nonmedia Massa
1.      Manusia; utusan, kurir, dan lain-lain.
2.      Benda; telepon, surat, dan lain-lain.
b.      Media Massa
1.      Media massa manusia; pertemuan, rapat umum, seminar, sekolah dan lain-lain.
2.      Media massa benda; spanduk, buku, selebaran, poster, folder, dan lain-lain.
3.      Media massa periodik–cetak dan elektronik;visual, audio, dan audio visual (Darwanto Sastro Subroto dalam Amin, 2009: 114)
Media dakwah pada zaman Rasulullah dan sahabat sangat terbatas, yakni berkisar pada dakwah qauliyah bi al-lisan dan dakwah fi’liyyah bi al-uswah, ditambah dengan media penggunaan surat (rasail) yang sangat terbatas. Satu abad kemudian, dakwah menggunakan media, yaitu qashash (tukang cerita) dan muallafat (karangan tertulis) diperkenalkan. Media yang disebut terakhir ini berkembang cukup pesat dan dapat bertahan sampai saat ini. Pada abad ke-14 Hijriah, kita menyaksikan perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Di samping pengaruh-pengaruhnya yang negatif terhadap dakwah, tidak dapat dikesampingkan adanya pengaruh positif yang dapat mendorong lajunya dakwah. Dalam rangka inilah, dakwah dengan menggunakan media-media baru seperti surat kabar, majalah, cerpen, cergam, piringan hitam, kaset, film, radio, televisi, stiker, lukisan, iklan, pementasan di arena pertunjukan, puisi, nyanyian, musik, dan media seni lainnya, dapat mendorong dan membantu para pelaku dakwah dalam menjalankan tugasnya (Ali Yafie, 1997 : 91-92).
Adapun yang dimaksud media dakwah, adalah peralatan yang dipergunakan untuk menyampaikan materi dakwah kepada penerima dakwah. Pada zaman modern seperti sekarang ini, seperti televisi, video, kaset rekaman, majalah, dan surat kabar (Wardi Bachtiar, 1997 : 35). Seorang da’i sudah tentu memiliki tujuan yang hendak dicapai, agar mencapai tujuan yang efektif dan efisien, da’i harus mengorganisir komponen-komponen (unsur) dakwah secara baik dan tepat. Salah satu komponen adalah media dakwah.
A.    Media Dakwah POP
Kecenderungan hidup manusia pada abad mutakhir ini digambarkan futuristic lawas, John Naisbit dan Patricia Aburden dalam Mega Trend 2000, memiliki gaya hidup (life style) yang lebih mengandalkan pada hiburan (film), makanan (food) dan pakian (fashion). Lebih mengandalkan gaya hidup pada kenikmatan-kenikmatan yang bersifat praktis dan pragmatis menyenangkan, bisa dirasakan pada saat ini yang lebih positifistik, sehingga mengabaikan aspek-aspek yang lebih bersifat substantive dan orientasi pada isi bukan bentuk.
Kecenderungan manusia atau mad’u dalam term dakwah ini, membawa pengaruh dan menyeret unsur-unsur social lainnya, tidak terkecuali para mubalig yang juga berani mengiikuti arus zaman dengan segala kecerdasan dan kekuasaannya karena kurang menguasai perangkat-perangkat keras maupun lunak yang dituntut manusia pada abad modern ini.
Keterampilan dan kecerdasan mengendalikan perangkat-perangkat lunak maupun keras tersebut, telah menjadi bagian penting dalam melahirkan model-model mubalig yang lebih mempunyai akses terhadap saluran-saluran sebagaimana digandrungi mainstream utama budaya masyarakat. Mubalig yang kurang memiliki akses terhadap elemen-elemen budaya pop seperti terjadi saat ini akan tergeser dan tergusur oleh mubalig-mubalig yang akrab dan mengenali kemana arah utama budaya manusia itu akan mengalir.
Sebagai bahan pendahuluan, mengacu John Storey, dalam Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, mengungkap beberapa tren saluran budaya popular yang digandrungi saat ini dan menjunjung tinggi perubahan. Oleh karena itu, tidak ada salahnya, segmen masyarakat seperti mubalig juga menggunakan saluran-saluran popular budaya tersebut se

dirangkum dari berbagai sumber. daftar pustaka silahkan PM WA .085740460313

0 Response to "RESUME DAN REVIEW MATAKULIAH SOSIOLOGI AGAMA FULL"

Post a Comment

Tak peduli seperti apa hidupmu, kamu selalu punya pilihan untuk melihat dari sisi baiknya atau sisi buruknya. mari saling berbagi

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel